Minggu, 07 September 2008

BALADA PEMUDA BUTA TULI

Padamu Negeri, kami berjanji…
Bah!, sepenggal lirik menggelikan menggoda telingaku
Berjanji?, untuk kemudian diingkari. Janji..janji.. terus saja berjanji mengumbar janji untuk negeri ini dan takkan pernah ditepati

Padamu negeri, kami berbakti….
Berbakti?, apa yang akan kubaktikan padamu, wahai negeriku?, apa yang kupunya selain otak yang dangkal, bibir yang penuh dusta dan hati yang selalu berpura-pura?

Padamu negeri, kami mengabdi…
Mengabdi?, kuabdikan diriku hanya pada permata-permata dunia, yang menggiurkan dalam segala bentuk dan rupa, memuaskan dahaga akan materi-materi bergelimang dosa.
Dan untukmu negeriku?, takkan ada yang tersisa…

Karena aku buta…
Maka jangan kau paksa aku untuk melihatmu merintih menahan derita
Karena aku tuli…
Maka jangan kau jeritkan kepadaku tangisan-tangisan menyayat hati…

Bagimu negeri, jiwa raga kami….
Sungguh nelangsa kau, negeriku…
Yang kau punya hanya jutaan pemuda buta tuli sepertiku

-Novita P-
Purwokerto, Dec 07
KOMPLEKSITAS MANUSIA TERDIDIK

“Mereka biasanya pintar-pintar jika bicara dialektika, fasih ketika mengutip kata-kata klasik. Tapi dalam memandang kehidupan, mereka masih bayi…”
(A.S Neil dalam Paulo Freire, 2003)

Ternyata sulit jadi manusia terdidik. Bukan hanya sulit dalam pertaruhan masuk ke sebuah institusi melawan beberapa ribu orang dan melawan tinginya biaya yang disyaratkan, lalu ketika berproses di dalamnya diharuskan bergelut dengan teori-teori ajaib yang seolah-olah mengawang-awang di langit, dan ketika lulus, dihadapkan pada praktik yang ternyata sangat “membumi” sekali, dan runtuhlah semua teori-teori langit dan keajaiban bahasa-bahasa “dewa” kaum intelektual, karena mereka, manusia-manusia terdidik ini, harus kembali pada masyarakat. Dan sesungguhnya pembelajaran bagi mereka justru baru dimulai, dengan kurikulum yang tidak pernah diajarkan di institusi manapun, the lessons of life.
Kultur masyarakat Indonesia yang cenderung menghargai symbol formal, terkadang membuat penghargaan terhadap manusia dengan gelar pendidikan dihargai lebih. Kepemilikan ijazah sarjana merupakan symbol konkret yang membuat mereka terpandang strata sosialnya. Sekolah-sekolah umum pun tidak lepas dari paradigma bahwa mereka memiliki kapasitas untuk memajukan anak didik secara intelektual, dibandingkan dengan sekolah kejuruan. Hal ini juga terjadi di kalangan mahasiswa, sulitnya bertaruh dengan biaya pendidikan tinggi yang sedemikian mahal, membuat mahasiswa berusaha secepat mungkin menyelesaikan pendidikan untuk meminimumkan biaya pendidikan. Hal ini tentunya akan berpengaruh dalam megubah orientasi belajar mahasiswa dalam menggali ilmu, dan beralih pada prioritas mempercepat kelulusan. Walaupun secara teori penguasaan mereka bagus, namun mereka belum siap untuk terjun langsung mengaplikasikan teori-teori yang mereka dapat. Hal ini diperparah dengan kenyataan bahwa selama masa kuliah, mahasiswa seringkali diharuskan menempuh beberapa mata kuliah yang kurang berguna, karena semua teori dan buku-buku tebal yang dilahap setiap hari, justru tidak membentuk karakter manusia dalam menentukan nasib mereka sendiri.
Bukan rahasia lagi, jika banyak dari manusia-manusia terdidik ini, tertatih-tatih ketika keluar dari “akuarium” institusinya. Mereka megap-megap ketika dituntut harus beradaptasi dengan realitas yang ada. Institusi seharusnya tidak diposisikan menjadi sebuah laboratorium bagi kehidupan mereka kelak, dan menjadi tempat mereka untuk berobservasi, laboratorium sosial mereka seharusnya adalah masyarakat dan observasi mereka seharusnya dilaksanakan di dalam lingkungan masyarakat. Institusi adalah sebuah “perantara” bagi mereka, dengan menyediakan sebanyak mungkin ruang-ruang yang mengakomodir kebutuhan mereka dan juga kebutuhan masyarakat. Proses pembelajaran akan terjadi bagi si manusia terdidik karena sebagai calon teknokrat dan birokrat, dirinya tahu kondisi riil masyarakat, dan mereka diharapkan untuk dapat membuat perencanaan yang didasarkan pada kondisi riil tersebut.
Jika ada sebuah anggapan bahwa tujuan bersekolah tinggi itu sebetulnya adalah arah mobilitas vertikal bukan ke bawah, saya tidak setuju. Mobilitas vertikal hanya akan menjebak manusia-manusia terdidik dengan akses penguasaan teknologi informasi, informatika, jaringan kerja dan jaringan modal, dan tidak akses ke masyarakat. Jika anggapan ini berlaku, maka institusi hanya memiliki peran sebagai pusat pencetak ijasah, tidak lebih.
Jika anda termasuk golongan manusia terdidik, memang sangat kompleks tuntutan yang anda hadapi saat ini. Di satu pihak anda dituntut menjadi objek dari globalisasi dengan segala ke-sophitiscated-an nya, dan disisi lain anda ditantang untuk kembali ke masyarakat, mengamalkan apa yang telah anda dapatkan di bangku sekolah. Perlu sebuah perenungan akan makna pendidikan yang mendalam bagi manusia-manusia terdidik ini, agar kelak mereka dapat dengan cepat menemukan identitas dirinya setelah lulus. (Nov)

Sabtu, 14 Juni 2008

Pendidikan Indonesia ; Sudah Jatuh, Tertimpa Tangga, Eh, Kejeblos Lubang Pula..

Oleh : Novita Puspasari

Dunia pendidikan Indonesia dibuat miris kembali. Belum cukup dikagetkan oleh persentase anggaran pendidikan di APBN 2008 yang hanya sebesar 11, 8 persen dari total anggaran, Mahkamah Konstitusi (MK) Februari lalu memutuskan komponen gaji guru menjadi bagian dari anggaran pendidikan. Tidak hanya putusan MK yang membuat suram anggaran pendidikan. Anggaran pendidikan yang kini Rp 49,7 triliun tercancam terpotong 15 persen lagi. Sebab, muncul edaran dari menteri keuangan untuk menghemat 15 persen di berbagai departemen dan termasuk anggaran pendidikan. Keseriusan pemerintah untuk membangun manusia Indonesia melaui pendidikan perlu dipertanyakan kembali dengan adanya APBN 2008 yang konon katanya merupakan anggaran pro kemiskinan ini.

Gaji Guru yang Merupakan Bagian Anggaran Pendidikan

. Keputusan MK mengenai gaji guru yang masuk anggaran pendidikan itu merupakan “angin segar” bagi pemerintah karena tak perlu lagi pusing untuk menambah anggaran pendidikan hingga mencapai 20 persen APBN seperti yang diamanatkan UUD 45. MK mengambil putusan itu setelah mengabulkan permohonan guru asal Sulsel Rahmatiah Abbas dan dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar Badryah Rifai. Keduanya berdalil kerugian konstitusional telah dilanggar karena penetapan anggaran pendidikan 20 persen dari APBN dan APBD tidak memberi manfaat bagi guru dan dosen sebagai komponen pendidikan ( (NTT Online, Februari 2008).. Termasuk jika ada kenaikan anggaran pendidikan. Pasalnya, pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas mengecualikan komponen gaji pendidik dalam biaya pendidikan.
Padahal, gaji guru dan dosen yang diangkat oleh pemerintah seperti PNS pada umumnya, diatur tersendiri dalam Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil (PGPS) dan juga dimasukkan dalam RAPBN, vide pasal 49 ayat 2 UU Sisdiknas, maka akan berarti bahwa gaji para pendidik seluruhnya, baik yang PNS maupun non-PNS, harus ditanggung negara lewat APBN dan APBD, sungguh suatu hal yang sangat mustahil. Dalam UU Sisdiknas juga sangat gamblang dijelaskan bahwa anggaran pendidikan yang dicapai 20 persen adalah di luar gaji guru. Dengan dimasukkannya gaji pendidik itu, anggaran pendidikan yang saat ini baru mencapai 11,8 persen dalam APBN 2008 melonjak menjadi 18 persen. Semakin mudah bagi pemerintah dalam memenuhi angka 20% yang diamanatkan oleh UU. Namun, di sisi lain, akibat keputusan MK itu kewajiban pemerintah berkurang dalam menambah dana yang lebih besar untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Misalnya, peningkatan SDM atau penambahan fasilitas pendidikan.

Pemotongan 15 persen Anggaran Pendidikan

Dimasukkannya gaji guru ke dalam anggaran pendidikan, bukan merupakan pukulan terakhir untuk dunia pendidikan setelah persentase anggaran pendidikan dalam APBN 2008 hanya sekitar 11, 8 persen. Ada pukulan telak lain yang membuat babak belur dunia pendidikan. Berdasarkan surat edaran dari Menteri Keuangan Sri Mulyani Indarwati dengan nomor S-1/MK.02/2008. (Kompas, Rabu 27 Februari 2008), setiap departemen, termasuk departemen pendidikan, diwajibkan menghemat 15 persen. . Penghematan itu setelah pagu anggaran dikurangi gaji, kewajiban pembayaran utang, Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), dan hibah Penghematan tersebut adalah akibat pemerintah lebih memprioritaskan anggaran untuk alokasi pembayaran bunga dan cicilan utang pokok luar negeri yang mencapai Rp. 88 Triliun.( RMExpose.com, Februari 2008).
Langkah Menkeu tersebut masih menjadi kontroversi tersendiri lantaran melanggar ketetapan UU APBN 2008, karena dalam posisi pemerintah yang ingin mengajukan perubahan anggaran, seharusnya Menkeu mengajukan perubahan APBN tersebut melalui mekanisme RUU perubahan. Belum lagi dengan kebereratan dari berbagai komisi dan fraksi yang ada di DPR dan rawannya penurunan anggaran tersebut dari tuntutan masyarakat, karena dinilai melanggar sebagaimana yang digariskan dalam UUD ’45 bahwa anggaran pendidikan setiap tahun harus naik untuk nanti mencapai 20 persen dari APBN.
Terlepas dari kontroversi hukum yang ada, turunnya anggaran jelas membawa dampak luas bagi sejumlah program prioritas yang sifatnya mendesak. Pada tahun 2008, Depdiknas telah mencanangkan sejumlah program untuk menyelesaikan target wajib belajar Desember nanti. Selain itu, ada banyak program lain yang membuat Depdiknas berat untuk memotong anggaran. Diantaranya program peningkatan kesejahteraan pendidikan seperti tunjangan fungsional, tunjangan profesi, pendidikan sertifikasi guru, dan juga subsidi pendidikan melalui BOS ( Bantuan Operasional Sekolah). (Kompas, Rabu 27 Februari 2008).

Anggaran Pendidikan Sepatutnya Diprioritaskan

Langkah yang diambil pemerintah dengan tidak melakukan penambahan anggaran pendidikan di APBN 2008, memasukkan gaji guru ke dalam anggaran pendidikan, dan melakukan penghematan 15 persen di semua departemen, termasuk departemen pendidikan, merupakan sebuah bentuk inkonsistensi pemerintah atas pembangunan manusia berbasis hak asasi yang diusung pemerintah dalam rangka mempercepat tercapainya Millenium Development Goals (MDGs) yang mutlak tercapai di tahun 2015. Pendekatan hak asasi yang dilakukan pemerintah yaitu dengan melakukan pembenahan di sector pendidikan, kesehatan, kesejahteraan dll. Penentuan besarnya biaya pendidikan seharusnya dipertimbangkan secermat mungkin, mengingat hal itu akan berdampak buruk terhadap capaian pembangunan manusia karena pembangunan manusia merupakan kunci untuk memajukan bangsa ini.

Sepatutnya, anggaran pendidikan mendapat prioritas tinggi dalam pembangunan, agar sinkron dengan upaya untuk memajukan bangsa. Dikhawatirkan, jika tidak ada upaya ke arah itu, maka bangsa Indonesia akan kian tertinggal, bahkan akan terlampaui oleh negara-negara yang tingkat kemajuannya kini masih di bawah Indonesia, seperti Myanmar, Banglades, Nepal, dan Bhutan. Kekhawatiran itu tidaklah mengada-ada mengingat negara-negara yang tergolong miskin itu mengalokasikan anggaran pendidikan yang cukup besar. Berdasarkan catatan Unesco (2003), Myanmar mengalokasikan anggaran pendidikan sekitar 18 persen dari total anggaran belanja, Banglades16 persen, Nepal 14 persen, dan Bhutan 13 persen.

Minggu, 08 Juni 2008

Auditorium FE, Jalan Menuju Peningkatan Akreditasi?

Jika kita melintasi kompleks Fakultas Ekonomi Unsoed, akan terlihat pembangunan di bekas tempat parkir yang ada di selatan Gedung A. Pembangunan tersebut adalah pembangunan gedung Auditorium Fakultas Ekonomi. Ide pembangunan gedung Auditorium tersebut bermula dari keinginan pihak Fakultas untuk meningkatkan akreditasi masing-masing jurusan. Salah satu persyaratan peningkatan akreditasi adalah tersedianya sarana dan prasarana yang memadai di lingkungan kampus. Salah satu indikator sarana dan prasarana yang memadai dapat dilihat dari lay-out kantor yang ada di masing-masing jurusan. Idealnya, menurut Bapak Haryadi, Dekan FE, setiap dosen difasilitasi dengan kantor sendiri-sendiri untuk memudahkan mahasiswa dalam berkonsultasi dengan dosen sehingga akan dapat meningkatkan iklim akademik. Sementara yang ada di Fakultas Ekonomi saat ini, satu ruangan dapat dipergunakan oleh enam atau bahkan lebih dosen. Tentunya hal ini akan memberatkan dalam penilaian akreditasi, lanjut Pak Haryadi lagi.

Rencananya, Gedung Auditorium tersebut akan dibuat tiga lantai. Lantai pertama dipakai oleh jurusan Manajemen beserta laboratorium-laboratoriumnya. Sedangkan Dekanat yang semula menempati lantai dua Gedung D akan hijrah ke lantai dua Gedung Auditorium. Lantai ketiga khusus dipergunakan sebagai auditorium yang berkapasitas hingga 300 orang. Selain nantinya akan dipergunakan untuk kegiatan-kegiatan mahasiswa, auditorium ini juga akan dipergunakan untuk pelatihan-pelatihan soft skill yang dilakukan oleh para alumni. Lalu, bagaimana dengan Gedung D?. Gedung D masih akan ditempati oleh dua jurusan. Lantai pertama Gedung D akan dipergunakan oleh jurusan IESP, sedangkan lantai dua akan dipergunakan oleh jurusan Akuntansi. Setiap dosen dari masing-masing jurusan, baik yang ada di Gedung Auditorium maupun gedung D, akan mendapatkan kantor baru yang berukuran 4x4 meter persegi.

Pembangunan Gedung Auditorium ini diperkirakan akan selesai April 2008. Sedikit terkesan tergesa-gesa memang, jika mengingat peletakan batu pertamanya saja baru dilakukan 17 Maret 2007 dan proses pembangunannya dilakukan bulan berikutnya. Namun, menurut Pak Haryadi lagi, hal ini dilakukan untuk mengantisipasi badan assessor yang akan datang untuk meninjau ulang akreditasi jurusan Akuntansi pada bulan-bulan tersebut. Diharapkan dengan memadainya sarana dan prasarana yang dimiliki oleh tenaga pengajar akan mampu menaikkan akreditasi jurusan Akuntansi. Tidak heran jika para pekerja bangunan yang mengerjakan proyek tersebut bekerja siang dan malam demi mengejar tenggat waktu.

Untuk menyelesaikan sebuah proyek besar dengan waktu yang cukup singkat tentunya membutuhkan dana yang besar pula. Ketika disinggung mengenai hal ini, Bapak Jaryono, Pembantu Dekan II FE, mengaku tidak tahu menahu. Menurut Pak Jaryono, pembangunan Auditorium adalah proyek POM, Koordinasi yang dilakukan POM pun hanya sebatas dengan pak Dekan, sehingga pihak Fakultas tidak mengetahui apa-apa. Jika auditorium tersebut telah siap, maka POM akan menghibahkannya ke pihak Fakultas. Melihat betapa seriusnya usaha pihak Fakultas untuk meningkatkan akreditasi tiap jurusan, semoga hasil yang dicapai pun tidak mengecewakan. (zai-nov)

PENURUNAN DANA KEMAHASISWAAN, AKIBAT KURANGNYA KOORDINASI?

Sungguh mengenaskan nasib kegiatan mahasiswa di tahun 2008 ini. Pada Forum Anggaran yang difasilitasi BEM FE minggu lalu, terungkap bahwa Dana Kemahasiswaan yang sedianya dipergunakan sebagai pos pemasukan dari Fakultas guna menunjang kegiatan-kegiatan kemahasiswaan yang dilaksanakan oleh UKM/HIMA, turun drastic. Jika pada tahun 2007 kegiatan-kegiatan kemahasiswaan yang didanai Fakultas mencapai angka 130 jutaan, maka pada tahun ini angka yang di-acc untuk kegiatan kemahasiswaan hanya sekitar 95 juta. Itu belum dipotong untuk anggaran Desember 2007 yang dialokasikan ke anggaran 2008 sebanyak 15 juta rupiah. Sehingga total dana yang dapat diakses 16 UKM/HIMA tahun ini hanya sekitar 80 jutaan.

Salah satu alasan penurunan dana kemahasiswaan ini menurut Desi, Menteri Keuangan BEM FE adalah imbas dari persiapan UNSOED menuju BHP. Sehingga terjadi pemotongan dana yang dipergunakan untuk pilar jaringan dan pilar keilmuan, termasuk di dalamnya dana kemahasiswaan. Ketika dikonfirmasikan hal ini kepada Bapak Jaryono, selaku Pembatu Dekan II FE, beliau mengatakan bahwa tidak ada hal semacam itu. “ Tidak..tidak ada alasan itu. Mekanisme pengajuan dana adalah dari Fakultas- Universitas- Diknas-DepKeu lalu dirapatkan di DPR. Jadi angka yang keluar diluar wewenang kita. Itu dari pusat. Kebetulan tahun ini Pemerintah Pusat sedang mengadakan pemotongan anggaran di berbagai sector. Termasuk di dalamnya sector pendidikan sehingga imbasnya ada beberapa yang terpaksa mengalami penurunan, termasuk di dalamnya dana kemahasiswaan”. Ketika ditanyakan berapa persentase penurunan anggaran untuk sector pendidikan, beliau mengaku kurang paham. “ Pokoknya beberapa persen, tapi saya kurang paham”.
Dari Forum Anggaran pula terungkap bahwa pihak Fakultas mengajukan nominal 150 juta untuk dana kemahasiwaan tahun 2008. Lalu darimana dasar keluarnya jumlah nominal tersebut?. Pihak BEM FE sendiri tidak tahu menahu mengenai hal ini. Terutama karena nyaris tidak ada koordinasi dari pihak Fakultas dan BEM sendiri mengenai hal ini. “ Kita tidak tahu tentang dasar dikeluarkannya angka itu. Yang kita tahu sekitar Bulan Desember 2007, pihak Fakultas mengajukan ke atas. Namun tidak berkoordinasi dengan BEM”, ujar Ridwan Farid, Presiden BEM FE.

“Kita menggunakan performance budget. Tidak ada hubungannya dengan realisasi anggaran tahun sebelumnya. Bagaimana bisa kita (Fakultas.red)menggunakan realisasi anggaran tahun sebelumnya, sedangkan pada Bulan Maret saja rencana anggaran tahun berikutnya harus sudah dipersiapkan”, lanjut Pak Jaryono lagi. Lantas, apakah melalui performance budget cukup untuk memprediksi kebutuhan mahasiswa setahun ke depan?. Apalagi tanpa adanya koordinasi yang baik dengan pihak mahasiswa, dalam hal ini BEM. “ Fakultas sudah berusaha untuk berkoordinasi dengan BEM. Misalnya dengan meminta rencana anggaran setahun. Dari rencana anggaran tersebut nanti diminta untuk menyesuaikan dengan dana yang ada”, ujar beliau. Nah lho, siapa menyesuaikan siapa kalau begini?, Apa fungsinya membuat anggaran setahun jika pada akhirnya harus tetap menyesuaikan dengan dana yang tersedia?. Bukankah rencana anggaran dibuat sebagai dasar perkiraan berapa kira-kira dana yang harus keluar?.

Lalu bagaimana juga dengan pengurangan anggaran dari 95 juta menjadi 80 juta?. Dari pihak BEM mengatakan bahwa pengalihan kepengurusan yang lebih lama satu bulan, membuat anggaran pada akhir tahun 2007 dialokasikan ke 2008. “ Sebelumnya anggaran pada bulan Desember bisa diakses pada bulan Desember juga, namun tahun ini ternyata anggaran Desember masuk ke anggaran tahun berikutnya”.
Lain lagi dengan pihak Fakultas yang mengatakan bahwa tidak ada mekanisme seperti itu. “ Wah, tidak bisa seperti itu. Tidak ada pengalokasian pengaksesan dana ke tahun berikutnya. Kegiatan 2007 ya tetap mengunakan anggaran 2007. Kecuali jika ada pemaksaan penambahan kegiatan dari mahasiwa sehingga melebihi anggaran, seperti manipulasi-manipulasi begitu”, ujar PD II tanpa merinci lebih lanjut manipulasi-manipulasi seperti apa yang dimaksud atau dampak dari pemaksaan kegiatan tersebut terhadap anggaran tahun berikutnya.

Tampaknya dari pihak Fakultas maupun BEM belum seiya sekata dalam menanggapi isu ini. Bisa jadi kurangnya koordinasi dari kedua pihak merupakan penyebabnya. Dalam pengajuan dana kemahasiswaan ke pihak universitas, Fakultas kurang memberdayakan fungsi BEM, untuk membantu memprediksikan kebutuhan dana setahun ke depan. Sedangkan BEM, sebagai perwakilan dari UKM/HIMA yang ada kurang cepat tanggap terhadap gerak Fakultas yang menyangkut hajat hidup UKM/HIMA yang diwakilinya. Meskipun belum seiya sekata di hampir semua hal, namun baik BEM maupun Fakultas sama-sama berjanji akan memperjuangkan kenaikan dana kemahasiswaan pada Revisi Anggaran di pertengahan tahun. Semoga momentum tersebut dapat menjadi langkah awal terciptanya sinergitas yang baik antara Fakultas dan BEM. Semoga. (novi)

Dibalik Vakumnya Kegiatan Kemahasiswaan Bisnis Internasional

Nasib kegiatan kemahasiswaan mahasiswa program studi D3 Bisnis Internasional (BI) menjadi semakin tak menentu. Setelah resmi bergabung bersama Fakultas Ekonomi tahun lalu, praktis hampir tidak ada lagi kegiatan kemahasiswaan yang diadakan oleh beberapa UKM. Ada dua alasan yang melatarbelakangi vakumnya kegiatan mahasiswa BI, yang pertama adalah kejelasan status beberapa UKM yang ada di BI dan yang kedua adalah masalah pengaksesan dana untuk kegiatan kemahasiswaan.

Ketua Program Studi D3 Bisnis Internasional, Drs.Ahmad Sujadi, Msc, phD, yang menjadi pihak paling terlibat dalam hal kegiatan kemahasiswaan sebelumnya, mengaku tidak paham mengenai perubahan status UKM dan pengaksesan dana kemahasiswaan. Setelah menerima SK pengangkatan pada bulan September 2007 yang lalu, beliau tidak lagi menangani mekanisme pengajuan dana untuk kegiatan mahasiswa. “ Mekanisme pengajuan dana yang ada sebelumnya dari mahasiswa mengajukan ke Ka.Prodi dalam bentuk proposal, dari Ka.Prodi ke pusat dan dana langsung dicairkan. Tapi itu dulu, karena kita masih mengelola dana sendiri. Kalau sekarang, sepengetahuan saya mekanismenya berbeda, jadi dari mahasiswa ke Ka.Prodi lalu Ka.Prodi mengajukan proposal ke Fakultas.” Namun sayangnya, ketika pihak Program Studi meneruskan rencana kegiatan mahasiswa ke pihak Fakultas, hal tersebut ditolak oleh pihak Fakultas.

Alasan penolakan proposal tersebut dijelaskan oleh PD III Fakultas Ekonomi, Drs. Hary Pudjianto, MM, ”UKM yang ada di BI tidak memiliki SK, saya merasa tidak pernah mengeluarkan SK. Lalu, bagaimana bisa saya meng-acc kegiatannya?”, tandas PD III . Mengenai kejelasan status UKM yang ada di BI, PD III menegaskan bahwa dengan bergabungnya BI dengan Fakultas Ekonomi, maka secara otomatis UKM yang ada di BI-pun melebur dengan UKM yang ada di FE. “ UKM yang ada di BI automatically melebur dengan FE sejak BI bergabung bersama FE. Tidak ada penggabungan, namun memang sudah jelas harus melebur bersama, karena kita sama-sama di bawah FE”, tandas beliau. Masih lanjut PD III, semua kegiatan mahasiswa BI yang bersifat ilmiah akan masuk ke HMPS, sedangkan UKM-UKM yang ada di BI, seperti BIMA(pecinta alam) dan UKM Olahraga akan melebur dengan UKM Jagrawecya dan UKM Olahraga yang ada di FE. Lain lagi dengan IBC (International Business Community) yang selama ini menaungi semua UKM yang ada di BI. Menurut PD III, IBC bukanlah sebuah badan seperti BEM,melainkan hanya menjadi fasilitator antara mahasiswa dengan birokrat.

Makin ruwet saja ketika masalah pengaksesan dana untuk kegiatan kemahasiswaan dikaitkan dengan status UKM. Jika menurut PD III status UKM yang ada di BI sekarang melebur dengan UKM yang ada di FE, maka tentu tidak perlu lagi ada mekanisme yang melibatkan Ketua Program Studi dalam pengaksesan dana. Lebih lanjut PD III menegaskan jika tidak boleh ada suatu aktivitas yang berdiri sendiri dari UKM yang ada di BI, karena secara status mereka telah melebur dengan UKM di FE. Jadi, untuk ke depannya, PD III mengharapkan UKM yang ada di BI mengikuti kegiatan yang telah diagendakan UKM/Hima yang ada di FE. Tapi permasalahannya adalah bagaimana dengan nasib program kerja yang telah dibuat oleh UKM/Hima di BI selama setahun?, apakah UKM/Hima yang ada di FE telah dapat mengakomodir kebutuhan baik dalam hal dana maupun kegiatan dari teman-teman BI?.

Panji Asmara, Ketua HMPS, terkejut ketika dikonfirmasi mengenai peleburan status tersebut, karena hal ini juga tentu turut berkaitan dengan kegiatan yang diagendakan dan dana yang dianggarkan. Tidak pernah ada sosialisasi maupun konfirmasi mengenai BI sebelumnya. Juga mengaku tidak ada informasi dan koordinasi, baik mengenai dana kemahasiswaan maupun status UKM yang ada di BI, Dyah Novita Hedyani, presiden IBC , menegaskan bahwa beberapa kegiatan yang sebelumnya telah diagendakan oleh UKM yang ada di BI terpaksa ditunda atau bahkan ter-cancel. Informasi mengenai status UKM dan dana kemahasiswaan baru didapat oleh Diah dkk setelah menyambangi PD III beberapa waktu yang lalu. Hal ini jelas mengejutkan bagi penggiat UKM di BI karena tidak pernah ada sosialisasi mengenai hal tersebut sebelumnya.

Empat bulan sudah kegiatan mahasiswa BI vakum. Pihak-pihak yang diharapkan dapat membantu memperjelas duduk permasalahan, tetap tidak bergeming. Keputusan secara sepihak telah dibuat, program kerja telah berjalan, dana telah dianggarkan, dan nasib kegiatan mahasiswa BI tetap tidak terjelaskan. (nov)

Selasa, 22 April 2008

Sebuah Titik Terang UNtuk Kegiatan Kemahasiswaan

Beberapa bulan terakhir, UKM/HIMA FE Unsoed mengalami kesulitan mengakses fasilitas yang menunjang beberapa kegiatan kemahasiswaan. Kesulitan tersebut adalah dalam hal peminjaman gedung. Gedung G yang sedianya dipergunakan untuk beberapa kegiatan kemahasiswaan, ternyata tidak dapat dipinjam lagi. Sehingga beberapa UKM/Hima mulai mencari solusi untuk peminjaman tempat. Gedung C menjadi salah satu tujuan. Beberapa UKM , seperti Ecolens dan Memi pernah memanfaatkan gedung C untuk kegiatan kemahasiswaannya, meskipun fasilitas yang ada di gedung tersebut, seperti LCD, tidak tersedia.
Beberapa UKM/HIMA nasibnya tidak seberuntung kedua UKM di atas, sebutlah PMK dan HMJM. HMJM yang mengadakan sebuah acara training dengan mengundang seorang pembicara pada hari Kamis tanggal 27 Maret yang lalu, ternyata tidak dapat meminjam sebuah ruang kuliah yang layak untuk acara formal tersebut. Acara training tersebut terpaksa digunakan di hall gedung D, dengan konsep “lesehan”. Yang lebih miris lagi nasib PMK. UKM yang hendak melaksanakan Musyawarah Anggota tersebut juga tidak dapat meminjam sebuah ruang kuliah pun yang ada di FE, sehingga tgerpaksa melaksanakan acara Musyawarah anggota di gedung PKM, Karangwangkal. Padahal, baik acara yang diadakan HMJM maupun PMK , dilakukan pada sore hari ketika banyak ruang kuliah yang tidak terpakai.
Berbekal kesulitan-kesulitan peminjaman gedung yang mengganggu kelancaran kegiatan kemahasiswaan itulah, perwakilan UKM/HIMA beserta BEM mengadakan sebuah forum pada hari Sabtu, tanggal 29 Maret lalu, khusus untuk membahas kesulitan peminjaman gedung. Dari forum tersebut dihasilkan beberapa kesepakatan, diantaranya untuk mengadakan pertemuan dialogis antara perwakilan UKM/HIMA beserta BEM dengan pihak Fakultas, dalam hal ini Dekan FE. Pertemuan tersebut dimaksudkan untuk mengetahui latar belakang sulitnya melakukan peminjaman gedung .
Pada pertemuan hari Senin, 31 Maret 2008, Dekan FE, Drs. Haryadi, Msc, justru mengaku tidak tahu menahu mengenai kesulitan peminjaman gedung yang dialami UKM/HIMA. Beliau mengaku terkejut karena akibat permasalahan ini, beberapa kegiatan terpaksa tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Bahkan, beliau sangat berterima kasih karena telah diberi informasi mengenai masalah ini. Masih menurut pak Dekan, hal-hal yang terjadi murni karena tidak adanya komunikasi yang baik di pihak Fakultas, bukan karena kesengajaan atau peraturan yang dibuat oleh Fakultas. “ Tidak ada peraturan dari Fakultas untuk membatasi penggunaan gedung, semuanya hanya dikarenakan tidak ada komunikasi yang baik hingga ke bawah”, tandas pak Haryadi.
Setelah mendengarkan keluh kesah dari beberapa perwakilan UKM/HIMA, bapak Haryadi justru menawarkan solusi untuk memfasilitasi peminjaman gedung, asalkan mahasiswa tidak merusak fasilitas yang ada dan tidak mengganggu suasana belajar jika kegiatan berlangsung di jam kuliah. Beliau menawarkan untuk kegiatan selama satu bulan ke depan, setiap UKM/HIMA yang memiliki kebutuhan akan gedung memberitahukan kepada BEM. Selanjutnya, BEM akan menyerahkan daftar kebutuhan gedung UKM/HIMA kepada pihak Fakultas. Pihak Fakultas kemudian akan mencarikan ruangan yang dapat dipinjam. Lalu, mengapa hanya daftar kegiatan satu bulan ke depan yang dibuat?. Ibarat masa transisi, saat ini UKM/HIMA sedang mengalami masa dimana beberapa kegiatan kemahasiswaan yang dahulu pusatnya ada di ruang kuliah, akan segera hijrah seiring Auditorium FE yang akan segera diresmikan. “ Kalian bersabar dahulu untuk sebulan ke depan, sambil menunggu gedung yang ada di sana (auditorium-red) jadi”, lanjut pak Dekan lagi.
Lantas, apakah dengan diresmikannya gedung Auditorium FE yang kelak akan menampung beberapa kegiatan kemahasiswaan akan menjamin tidak terjadi permasalahan-permasalahan kesulitan peminjaman lagi. “ Akan saya usahakan agar hal seperti ini tidak terjadi lagi. Tiap HIMA dapat memakai ruang rapat yang ada di masing-masing jurusan. Sedangkan UKM akan disiasati dengan menambahkan beberapa sekat di dalam gedung”, tegas Pak Haryadi. Dengan banyaknya kapasitas ruang kuliah yang ada di FE saja dapat terjadi kesulitan peminjaman, lalu bagaimana dengan auditorium kelak?. Sebuah janji yang patut ditunggu realisasinya ke depan.(nov)

Sabtu, 01 Maret 2008

THE WORLD I KNOW

Has our conscience shown?
Has the sweet breeze blown?
Has all the kindness gone?
Hope still lingers on.
I drink myself of newfound pity
Sitting alone in new york city
And I dont know why.

Are we listening to hyms of offering?
Have we eyes to see that love is gathering?
All the words that I've been reading
Have now started the act of bleeding into one.

So I walk up on high
And I step to the edge
To see my world below.
And I laugh at myself
As the years roll down.
cause its the world I know.
Its the world I know.

Jumat, 29 Februari 2008

Sebuah Investasi Bernama Pendidikan

Sebuah Investasi Bernama Pendidikan
Oleh : Novita Puspasari*


“ Indonesia perlu berinvestasi lebih serius di bidang pendidikan. Tidak hanya sekedar untuk memenuhi hak-hak dasar warga negara, tetapi juga meletakkan dasar bagi pertumbuhan ekonomi dan menjamin kelangsungan demokrasi jangka panjang. Ini merupakan sebuah invetasi yang besar”(Membiayai Pembangunan Manusia Indonesia,2004)


Mengapa kita harus berinvestasi dalam bidang pendidikan ?
Berinvestasi dalam bidang pendidikan adalah sebuah upaya nyata dalam menterjemahkan salah satu poin dari Tujuan Pembangunan Millenium (TPM) yaitu : “mewujudkan pendidikan dasar untuk semua” yang harus mutlak tercapai pada tahun 2015. Saat ini bangsa Indonesia mengharapkan adanya kebijakan publik yang menganut prinsip bahwa manusia bukan sekedar alat pembangunan, tetapi juga menjadi tujuan akhir pembangunan. Pendidikan adalah sarana untuk membekali manusia-manusia Indonesia agar dapat survive dengan perubahan dan tantangan zaman, sehingga diharapkan setelah melalui proses yang dinamakan pendidikan tersebut, masyarakat dapat menjadi tujuan akhir pembangunan. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah : mengapa kita harus berinvestasi dalam bidang pendidikan?. Ada dua alasan mengapa pendidikan menjadi sebuah ladang investasi yang menjanjikan. Pertama, pendidikan adalah dasar bagi pertumbuhan ekonomi. Kedua, pendidikan akan menjamin kelangsungan demokrasi dalam jangka panjang.


Dasar Bagi Pertumbuhan Ekonomi
Investasi publik dalam sektor sosial adalah sesuatu yang masuk akal karena adanya hal-hal eksternal yang besar. Hal-hal eksternal adalah imbas kegiatan ekonomi yang tidak diperhitungkan oleh sistem pasar. Pendidikan mengandung hal-hal eksternal serupa itu pula. Membantu meningkatkan keterampilan akan menaikkan tingkat pendapatan dan mobilitas sosial. Pendidikan juga berpengaruh pada lingkaran kesehatan, gizi dan kemiskinan. Seseorang yang berpendidikan lebih baik akan lebih sadar gizi dan pentingnya kebersihan serta pola hidup yang sehat. Investasi di bidang pendidikan tidak hanya bernilai bagi individu-individu yang terlibat tetapi juga untuk masyarakat secara keseluruhan melalui peningkatan produktivitas, yang kemudian berimbas kepada meningkatnya pendapatan nasional.
Disini, pendidikan diposisikan sebagai “barang publik” yang manfaatnya dapat dirasakan oleh individu maupun masyarakat secara keseluruhan. Output yang dihasilkan jika masyarakat semakin terdidik, maka ekonomi akan semakin produktif dan pada gilirannya pendapatan nasional akan meningkat. Ada sebuah alur yang tercipta antara investasi sektor sosial – dalam hal ini pendidikan- dengan pertumbuhan ekonomi.


Menjamin Kelangsungan Demokrasi dalam Jangka Panjang
Logikanya, orang yang lebih terdidik akan lebih mampu mengartikulasikan posisi mereka dan berpartisipasi secara bermakna dalam kegiatan-kegiatan sosial dan politik. Mereka juga dapat menjadi “modal sosial” yang akan menjadi dasar bagi toleransi, perdamaian, dan keselarasan yang merupakan hal yang penting bagi Indonesia yang tengah mengkonsolidasikan langkahnya menuju demokrasi.

Problematika dalam Investasi
Ketika bicara tentang investasi, maka tidak dapat terlepas dari efektifitas dan efisiensi. Yaitu dengan menggunakan cost yang serendah-rendahnya untuk mendapatkan produk dan profit yang setinggi-tingginya. Di dunia pendidikan diibaratkan seperti menggunakan modal dan kapasitas yang minim (guru dan fasilitas yang serba kurang) untuk menciptakan tenaga-tenaga terdidik atau lulusan yang mempunyai kapabilitas tinggi. Kinerja Indonesia yang buruk menurut standar internasional mencerminkan tingkst investasi yang rendah. Pengeluaran Indonesia di bidang pendidikan sekitar 1,5% dari PDB. Bandingkan dengan negara-negara di Asia lainnya ; Thailand 30%, Myanmar 18%, Bangladesh 16%, Nepal 14% dan Bhutan 13% (Ekonomi dari Demokrasi,2006). Sungguh suatu proporsi yang jauh dari ideal. Nilai pengeluaran relatif rendah bahkan meskipun sebagai proporsi dari Anggaran Belanja Pemerintah. Jadi, berapa banyak lagi yang perlu dikeluarkan Indonesia untuk memenuhi hak atas pendidikan?. Dengan investasi yang terkesan “setengah-setengah” dan pengeluaran untuk bidang pendidikan yang relatif rendah, hampir mustahil rasanya untuk mengharapkan hasil yang baik pada sektor ini.

Lalu, Apa yang perlu dilakukan?
Sebenarnya ada beberapa hal yang dapat dilakukan jika pemerintah memang serius berinvestasi disini. Pertama, investasi dapat dikonsentrasikan di sekolah-sekolah negeri yang mendidik mayoritas warga ; Perbaikan mutu, mencakup pengadaan buku-buku, memfasilitasi sarana dan prasarana yang memadai, perbaikan kesejahteraan guru dan perbaikan kurikulum. Kedua, pada sektor pendidikan, perlu ditetapkan target yang luas. Beasiswa untuk anak-anak miskin dapat menjadi target skala kecil, namun target skala besar terbaik adalah dengan memperbaiki kualitas pendidikan. Ketiga, memperbesar proporsi pengeluaran di bidang pendidikan. Jika kita menghitung berapa banyak yang harus dihabiskan untuk berinvestasi di bidang ini, mungkin akan muncul angka-angka yang cukup besar. Tetapi toh sebenarnya di dalam Undang-Undang Dasar Indonesia, sebagaimana telah diubah pada tahun 2002, mengharuskan negara untuk mengadakan pengeluaran yang lebih besar lagi, sebagaimana tercantum dalam Pasal 31 (4) yang berbunyi: “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan paling sedikit sebesar 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.


Investasi dalam bidang pendidikan cukup menjanjikan jika pemerintah memberikan perhatian yang besar dalam penanaman “modal”-nya. Melihat dari peran pendidikan yang memberikan sumbangsih sangat besar dalam jangka panjang, sudah sepatutnya kita tidak setengah-setengah berinvestasi di dalamnya. The more you invest, the more you get..................[]




*Penulis adalah mahasiswa jurusan Akuntansi SKS 2005
Wakil Pemimpin Umum Lembaga Pers Mahasiswa Media Ekonomi 2007

Aku dan pendidikan_a short story

AKU DAN PENDIDIKAN

Mengapa orang-orang selalu menggerutu tentang hidup mereka?, selalu menyalahkan nasib mereka?, kenapa tidak mereka nikmati saja hidup yang singkat ini.. Karunia Tuhan yang begitu indah untuk disa-siakan hanya dengan mengutukinya…

Pagi ini, seperti pagi-pagi lainnya, aku terlambat lagi. Sudah hampir sejam kuliah berlangsung, namun aku tetap memberanikan diri untuk masuk. Pak dosen yang sedang menjelaskan materi di depan kelas memelototiku dengan tajam, aku hanya membalasnya dengan senyum penuh penyesalan. Kemudian pak Dosen hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Sepertinya ia sudah tidak dapat berkata apa-apa lagi terhadapku. Sudah puluhan kali aku mengikuti kuliahnya dan tidak sekalipun aku datang tepat waktu. Kuhempaskan tubuhku di atas kursi kayu yang cukup keras, kuambil buku-buku kumal dari dalam tasku yang tidak kalah kumal, lalu kuambil satu-satunya pulpen milikku. Aku mengambil napas panjang, membaca doa, menghapus keringat sebesar biji jagung di wajahku, lalu aku memusatkan konsentrasi, aku siap untuk menyerap apa yang diberikan pak Dosen hari ini walaupun waktu yang tersisa tidak banyak.
Sebenarnya aku tidak ingin datang terlambat setiap pagi, aku ingin datang tepat waktu seperti teman-teman lainnya. Aku ingin menyerap secara utuh materi yang diberikan oleh para dosen. Tapi apa boleh buat, aku memiliki kewajiban lain di pagi hari. Sejak jam 3 pagi aku sudah bersepeda ke pasar untuk membantu ibuku membeli sayuran di pasar yang kemudian akan dijualnya lagi berkeliling. Setelah itu, aku mengambil Koran di agen Koran yang berada di dekat pasar untuk kemudian kuantarkan ke berbagai tempat di penjuru kota ini. Apakah kau pikir aku merasa terbebani oleh semua rutinitas pagi itu?, tidak, kawan. .Tidak sedikit pun aku merasa berat untuk melakukan semuanya. Aku mencintai pekerjaanku, kawan. Aku sangat mencintainya…
Sampai detik ini,tidak pernah terbersit di benakku bahwa aku akan dapat menikmati sebuah kemewahan di dalam hidupku ini. Kupikir memiliki keluarga yang utuh dan sehat, dapat menikmati makanan tiga kali sehari sudah merupakan surga dunia. Tidak dinyana, Tuhan memberikan kemewahan yang tiada tara bagiku, bahkan membayangkannya saja aku tidak mampu. Kemewahan itu adalah pendidikan. Sebuah kata yang terlampau indah untuk dibayangkan.
Sejak hari pertama aku menginjakkan kaki di Sekolah Dasar Negeri 67 Pasar Baru hingga sekarang aku duduk di bangku semester empat Universitas Negeri, aku telah berjanji di dalam diriku sendiri bahwa apapun yang terjadi aku tidak akan melepaskan kemewahan yang telah diberikan Tuhan kepadaku. Menyia-nyiakan pemberian Tuhan itu adalah sebuah dosa besar. Dan aku tidak ingin menjadi seorang pendosa. Maka kuabdikan sepenuhnya jiwa dan pikiranku kepada ilmu pengetahuan. Kepada sebuah dunia asing yang terbentang di hadapanku. Yang menunggu eksplorasi dari otakku, rengkuhan dari setiap indraku.
Bukan berarti selama lima belas tahun perjalananku menikmati kemewahan itu, aku tidak pernah terjatuh. Berkali-kali aku terjatuh, bahkan beratus-ratus kali aku sudah tersandung. Aku tidak ingat lagi berapa kali aku tidak bisa ikut ujian karena belum melunasi SPP, atau tidak bisa berangkat ke sekolah karena sepeda, baju sekolah, dan sepatuku satu-satunya digadaikan untuk memenuhi tuntutan perut, atau harus bekerja nyaris lima belas jam di Gudang Lelang Ikan agar dapat membayar biaya sekolahku. Ah, Itu belum seberapa kawan, jika dibandingkan dengan balasan berupa kemewahan pendidikan yang akan kudapatkan. Aku tidak akan menyerah hanya karena hal-hal sepele seperti itu. Aku takut jika aku melepaskan kemewahan itu barang sekejap saja, Tuhan tidak akan mau lagi memberikannya kepadaku.
Lima kilometer yang kutempuh dengan sepedaku untuk sampai ke SD, SMP dan SMA-ku, dan sepuluh kilometer lagi yang harus kutempuh untuk dapat sampai ke kampusku, adalah perjalanan paling singkat bagiku. Setiap inci kayuhan sepeda merupakan saat-saat paling mendebarkan sekaligus membahagiakan, karena belum pernah selama hidupku aku merasa begitu ingin cepat sampai ke suatu tempat selain sekolah dan kampus. Sensasi yang kurasakan dalam perjalanan itu tidak pernah hilang bahkan tidak berkurang sedikitpun selama hampir lima belas tahun kujalani. Ya Tuhan, jika ada saat-saat yang paling tidak sabar kunantikan setiap harinya, saat-saat itu adalah saat aku duduk di bangku kayu, menyerap semua yang diberikan oleh jelmaan malaikatmu, seorang guru…Penjelasan guru adalah melodi terindah yang dapat ditangkap telingaku, yang mengantarkanku mengunjungi tempat-tempat terjauh dalam pikiranku.
Begitupun hari ini, ketika aku diam termangu menatap daftar nama-nama penerima beasiswa di kampusku. Tidak kutemukan nama Dedi Anshori, namaku, disana. Apakah aku kecewa?, manusiawi sekali jika kukatakan aku memang sedikit kecewa. Hanya sedikit, tolong digarisbawahi kalimat itu. Sebagai seorang manusia beragama, aku dididik agar tanganku tidak selalu dibawah. Jika Tuhan tidak memberikan jalan lewat beasiswa, toh aku masih memiliki sebuah tubuh muda yang bugar tanpa cacat dan akal yang sehat. Lihatlah wahai dunia, lihatlah bagaimana seorang anak manusia berusaha memuaskan dahaganya atas sebuah kenikmatan dunia, ilmu pengetahuan.
Jika kau anggap kemiskinan adalah hal yang paling menjijikkan di dunia, maka sebaliknya bagiku. Tidak ada yang salah dengan kemiskinan, tidak ada yang salah dengan menjadi miskin. Yang salah adalah jika kemiskinan kau anggap sebagai batasan dalam meraih mimpimu. Boleh saja aku memiliki keterbatasan materi, memiliki keterbatasan akal, namun jangan sampai aku memiliki keterbatasan semangat. Kau akan mati tanpa semangat, tanpa mimpi, percayalah padaku.
Kubangun mimpiku melalui lembar demi lembar uang ribuan di bawah tumpukan baju di lemariku. Kubangun mimpiku melalui buku-buku pinjaman yang kubaca di bawah remang lampu minyakku. Kubangun mimpiku melalui berjam-jam kayuhan sepedaku. Kubangun mimpiku melalui tetesan peluh di setiap pagiku.
Maka, tidaklah komentar pesimis orang-orang tentang akan hancurnya sistem pendidikan di negeri ini dapat mematikan semangat membaraku. Jangan pernah dengarkan komentar-komentar menyedihkan seperti itu, kawan. Apa yang akan kau dapatkan dari mengutuki dan menyalahkan?. Aku terlampau lelah dengan sinisme membabi buta. Aku percaya bahwa kemurnian pendidikan akan membawa ilmu pengetahuan kembali pada kodratnya.

Novita De Araujo
Late at nite on November,07
For those who believe with ur dream..

KKN PBA, Pemerintah serius nggak sih?

PBA, Pemerintah serius nggak sih?

Hingga saat ini, proyek Pengentasan Buta Aksara (PBA) masih menjadi tanda tanya bagi banyak pihak. Mulai dari proyek seperti apa PBA, dana yang dipergunakan, plotting tempat KKN hingga mengapa pelaksanaan teknisnya dilakukan oleh mahasiswa. Pihak yang paling berkompeten untuk menjawabnya dalam hal ini adalah pihak pemerintah. Pihak pemerintah, terutama di wilayah Banyumas, yang dapat dikatakan bersentuhan langsung dengan PBA adalah Badan Pembangunan Daerah (Bappeda), Dinas Pendidikan, dan Pendidikan Luar Sekolah (PLS).
Menjawab berbagai pertanyaan tentang PBA, pihak Bappeda mencoba menjelaskannya. Sebenarnya program PBA sendiri adalah program nasional. Lalu, mengapa Jawa Tengah menjadi provinsi yang paling gencar dalam usaha memberantas buta aksara?, tidak lain karena angka buta aksara yang ada di Jawa Tengah termasuk yang tertinggi di Indonesia. Oleh karena itu, Pemerintah Daerah Jawa Tengah berusaha keras untuk memberantas buta aksara sehingga Jawa Tengah bebas buta aksara tahun 2008. Berbagai upaya dilakukan oleh Pemerintah Daerah, termasuk melibatkan berbagai pihak seperti PLS, LSM, PKK hingga mahasiswa. “Semua pihak turun tangan untuk program PBA ini, karena buta aksara bukan hanya merupakan tanggung jawab pemerintah namun juga tanggung jawab seluruh elemen masyarakat”, jelas salah satu petinggi Bappeda.
Dalam pelaksanaan teknisnya, masih menurut Bappeda, mahasiswa akan bekerjasama dengan PLS di lapangan. Media yang digunakan mahasiswa untuk berperan serta dalam PBA adalah melalui program Kuliah Kerja Nyata (KKN). Dalam setahun, KKN hanya berlangsung dua kali, oleh karena itu untuk mengisi masa-masa kosong KKN, PLS yang akan menggantikan mahasiswa dalam menangani warga belajar. Masa-masa kosong KKN perlu diisi PLS karena PBA sendiri adalah program yang berkelanjutan. Program PBA terdiri dari Sukma I-III. Jika hanya mengandalkan mahasiswa yang KKN, program ini tidak akan efektif karena rentang waktu yang cukup panjang antara satu KKN dengan KKN berikutnya sehingga dikhawatirkan warga belajar tidak lagi mengingat program sebelumnya. Ini pelaksanaan teknis idealnya versi Bappeda, namun bagaimana kenyataan di lapangan?, ketika Tim Senthir mengunjungi beberapa desa yang merupakan tempat berlangsungnya KKN PBA diluar masa KKN, tidak terlihat aktivitas belajar mengajar yang dilakukan oleh pihak PLS. Begitupun dengan pihak LSM dan PKK yang menurut Bappeda telah dirangkul untuk membantu menyukseskan program ini. Lalu, bagaimana dengan nasib para warga belajar di periode itu?, warga belajar ternyata hanya dapat menunggu proses belajar mengajar berlanjut pada sesi KKN enam bulan yang akan datang. Sehingga kesan yang kemudian muncul adalah proyek PBA merupakan proyek khusus mahasiswa. Jadi, Kemanakah pihak-pihak yang disebutkan akan turun tangan dalam membantu program PBA?
Untuk plotting daerah-daerah KKN sendiri, Bappeda bekerjasama dengan Dinas Pendidikan untuk mendapatkan data-data tentang daerah-daerah dengan tingkat buta aksara yang cukup tinggi di wilayah Jawa Tengah. Namun ketika dikonfirmasi lebih lanjut, pihak Dinas Pendidikan enggan merinci klasifikasi daerah-daerah yang dikatakan memiliki tingkat buta aksara yang cukup tinggi. “Yang jelas mahasiswa Unsoed hanya kebagian untuk menangani PBA di wilayah Jawa Tengah saja, tidak seperti mahasiswa UGM yang menangani wilayah Jawa Tengah, Jawa Barat dan Jawa Timur”, ujar salah satu pegawai Dinas Pendidikan secara singkat. Masih lanjut pihak Dinas Pendidikan, yang memiliki banyak informasi tentang daerah-daerah dengan tingkat buta aksara yang cukup tinggi adalah pihak Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM) karena pihak LPM-lah yang menjadi perantara antara pemerintah dengan pelaksana teknis PBA, dalam hal ini mahasiswa.
Metode pengajaran yang digunakan pada pelaksanaan PBA adalah metode langsung praktek. Ketika warga belajar tentang suatu kata, maka akan langsung diberikan contohnya. Misalnya warga belajar membaca “gergaji”, maka gergaji akan diberikan sebagai contoh sehingga akan mempermudah warga belajar untuk menyerap ilmu yang diberikan. Program PBA sendiri meliputi Calistung (Baca, Tulis, Hitung), dengan tingkatan program Sukma I-III. Tiap tingkatan membutuhkan waktu ajar hingga 6 bulan, itu jika PBA dilaksanakan oleh PKK atau LSM. Jika yang melaksanakan program PBA adalah mahasiswa, waktu ajar yang dibutuhkan justru lebih kilat lagi yaitu hanya satu setengah bulan sesuai dengan standar waktu KKN.
Bagaimana tingkat keberhasilan PBA sendiri dilihat dari perspektif pemerintah?. Menurut Bappeda program PBA dapat dikatakan berhasil. Parameter yang digunakan Bappeda adalah ketika ada kunjungan Bupati Banyumas ke daerah-daerah yang melakukan PBA, warga belajar dites oleh bupati, ternyata bebarapa orang yang dites oleh bupati telah dapat menulis dan membaca. Apakah hanya itu parameter yang digunakan untuk mengukur efektivitas KKN PBA menurut pemerintah?, ternyata memang hanya parameter itu yang diketahui Bappeda, disamping tentunya dari banyaknya jumlah sertifikat bebas buta aksara yang dikeluarkan. Secara kuantitas sertifikat, kriteria “berhasil” menurut Bappeda memang terpenuhi.
Untuk ukuran proyek berskala nasional, masih banyak yang harus dibenahi dengan konsep PBA mengenai siapa saja pihak yang akan terjun langsung menangani PBA, metode pengajaran yang dilakukan, hingga plotting daerah dengan tingkat buta aksara yang tinggi. Sungguh sangat disayangkan, untuk proyek sebesar PBA, konsep yang ada masih setengah matang. Hal ini dapat dilihat dari belum jelasnya pihak yang terjun langsung menangani PBA, hanya mahasiswa atau ada peran serta pihak lain?, metode instan yang digunakan dalam proses pembelajaran maupun parameter keberhasilan PBA versi pemerintah yang hanya sebatas banyaknya jumlah sertifikat bebas buta aksara yang dikeluarkan. Jika pemerintah benar-benar serius menggarap proyek ini, tidak mustahil tahun 2008 Jawa Tengah akan bebas buta aksara. Namun, dilihat dari berbagai kendala yang ada di atas, sebenarnya seberapa besar kadar keseriusan pemerintah dalam menggarap proyek ini?. (novi)

Suara hati seorang mahasiswa_a short story_

SUARA HATI SEORANG MAHASISWA..

Sumpek !!
Itu yang pertama kali kurasakan ketika kembali menginjakkan kaki di kota kecil ini. Kota yang telah hampir selama 4 tahun menjadi saksi perjuanganku mendapatkan gelar sarjana ekonomi. Kota yang begitu mempesonaku pada awalnya…
Sebulan lebih tiga hari,. aku meninggalkan kota ini untuk pulang ke kota asalku, sebuah kota besar yang tidak ramah. Sebenarnya aku memiliki waktu dua bulan untuk berlibur, namun ketidakramahan kota besar mengusirku untuk cepat-cepat kembali ke kota kecilku tercinta. Yang pertama kali kulihat ketika mataku menyapu jalan-jalan yang telah begitu kukenal adalah bertambah banyaknya kendaraan-kendaraan bermotor yang lalu lalang di sekitar kampusku, sebuah Universitas Negeri yang tidak kalah kecil. Lalu pandanganku jatuh pada sebuah fondasi bangunan yang berdiri tepat di sebuah lapangan di depan kampusku. Para pekerja yang berjumlah banyak tampak sibuk bekerja. Pemandangan yang tidak kulihat sebulan tiga hari yang lalu….
***
“ Itu proyek pembangunan city walk kampus kita, Ke”, Aldi, temanku menjelaskan padaku keesokan harinya ketika aku kembali lewat di depan kampus.
“Aku tahu tentang rencana pembangunan proyek itu oleh Universitas kita, tapi aku tidak tahu kalau hal itu benar-benar terwujud. Bukankah sebelumya sudah ditentang oleh mahasiswa dan warga sekitar?”, dahiku mengernyit.
“ Itulah gunanya punya kekuasaan Ke. Kau bisa menggunakannya kapanpun, dimanapun dan kepada siapapun. Meskipun proyek itu ditentang oleh sebagian besar mahasiswa, namun jika birokrat sudah berkehendak, semuanya pasti akan terlaksana”
“Ck..ck..ck..Birokrat sudah menjelma menjadi Tuhan rupanya di kampus ini”, aku menghembuskan napas dengan berat
***
“ Keke,sudah dengar tentang pembangunan X city walk yang ada di depan kampus kita?, katanya hanya membutuhkan satu tahun untuk menyelesaikannya lho..”, Dara, temanku yang paling centil berceloteh dengan riang.
“ Kau senang Ra?”
“ Ya jelas donk, Ke..Hebat kan kampus kita bisa punya pusat perbelanjaan sendiri?. Tidak semua kampus lho bisa begitu. Itu indicator kemajuan kota ini, Ke..”
“ Ya, tapi itu juga indicator degradasi moral pendidikan disini”, jawabku ketus sembari meninggalkan Dara yang terheran-heran mendengar jawabanku.
***
Ijinkan aku bernostalgia sejenak mengenang masa empat tahun yang lalu. Masa dimana aku baru saja lulus dari sebuah SMU berpredikat baik di kota asalku. Aku lulus dengan gemilang dan dalam sekejap tawaran kuliah dari beberapa Universitas terkemuka di kotaku pun berdatangan. Namun pikiranku saat itu melayang kepada sebuah kota kecil nan indah yang pernah kukunjungi ketika aku kecil. Keindahan, kedamaian, ketenangan kota itu serta kebersahajaan orang-orangnya telah mampu memikat hatiku dalam sekejap. Larangan orangtua dan teman-temanku tidak kuindahkan lagi. Hatiku mantap memilih kota itu. Kampus yang kecil beserta warganya yang sedikit membuat kami mengenal satu sama lain. Aku sangat menikmati masa-masa itu. Interaksi yang kurasakan antara mahasiswa, staf pengajar dan birokrat begitu erat. Kota ini pernah begitu ramah menyapaku…
Berawal dari sebuah sistem komersialisasi yang rupanya juga menyentuh dunia pendidikan, kampus ini berubah tidak ramah kepadaku. Setiap tahun jumlah mahasiswanya membengkak, bahkan melebihi kapasitas gedung-gedung kecil disini. Dan yang paling menyakitkan, pembangunan pusat perbelanjaan tepat di depan kampus yang notabene adalah proyek universitas ini juga. Interaksi diantara kami menjadi renggang. Sekarang yang ada hanyalah interaksi kampus ini dengan uang…
***
“ Ke, kenapa kau menjadi sedih atas pembangunan city walk itu?, kau tidak ingin kota ini menjadi maju?”, Dara yang rupanya masih penasaran akan pernyataan ketusku waktu itu kembali menemuiku
“ Bukan itu yang kusedihkan, banyak hal Ra..City walk hanya salah satu bentuk pengkhianatan kampus ini terhadap pendidikan”
“ Kau tidak ingin kampus kita menjadi lebih dikenal di Indonesia, Ke?”
“ Aku ingin kampus kita dikenal karena kualitasnya, bukan dengan hal seperti itu”, aku menggelengkan kepalaku
Dara terdiam sejenak, matanya menatap mataku dengan tatapan yang menyatakan seolah-olah aku telah mengatakan hal yang paling konyol yang pernah didengarnya.
“ Kau tidak ingin kota ini menjadi maju, Ke?. Kau tahu, aku lahir dan besar disini. Aku tumbuh dengan harapan bahwa kotaku suatu saat akan menjadi seperti kota-kota lain, menjadi sebuah kota yang maju dan berkembang”
“ Tapi bukan melalui media pendidikan, Ra”
“ Jika media pendidikan adalah sebuah cara yang paling mungkin, mengapa tidak?”, Dara bersikeras
“Jadi kau pikir semua ini tepat, Ra?”, tanyaku miris
“ Ya”
Dan aku pun berlalu lagi dengan gundah….
***
Keringat membasahi tubuhku. Teriknya sinar matahari tidak menghalangi niatku dan berpuluh kepala lainnya untuk berorasi di depan Gedung Rektorat. Teriakan-teriakan, nyanyian-nyanyian, bahkan sumpah serapah kami tidak diindahkan oleh orang-orang yang berada di dalam sana. Yang setia mendengarkan kami hanya beberapa orang satpam. Ironis, melihat hanya berpuluh kepala yang ada disini dari total ribuan mahasiswa kampus ini. Ironis, memiliki birokrat yang buta tuli.
Kusingkirkan jauh-jauh pikiran bahwa apapun yang terjadi birokrat tetap berkuasa, proyek itu akan terus berlanjut dan mahasiswa akan tetap sama, menjadi anjing yang menggonggong tanpa suara….Kutanamkan dalam pikiranku bahwa kami, mahasiswa, bisa merubahnya. Kendatipun berat rasanya melihat kenyataan yang ada dan melihat sedikitnya mahasiswa yang peduli. Apakah kami benar-benar mewakili suara hati para mahasiswa?, mewakili perjuangan para mahasiswa?
Dan aku pun berkubang dalam gundah lagi…..
***
Seminggu lagi X City Walk akan segera dibuka. Berpuluh baliho dan umbul-umbul di sepanjang jalan menuju kampus mengundang masyarakat untuk datang ke sana. Walaupun masih seminggu lagi dibuka, namun euforia menyambut dibukanya mal pertama di kota ini telah menjangkiti berbagai kalangan, termasuk teman-temanku sesama mahasiswa. Mereka telah merencanakan apa yang akan pertama kali mereka beli disana atau bagaimana mereka akan menghabiskan waktu dengan hang out disana. Aku hanya dapat mengelus dada, ternyata apa yang aku dan berpuluh temanku perjuangkan beberapa bulan yang lalu tidak berpengaruh apa-apa. Proyek city walk tetap berjalan, banyak pihak tetap merasa senang, birokrat pastilah merasa menang.. Dan kami, mahasiswa-mahasiswa yang dulu berjuang tetaplah menjadi anjing yang menggonggong tanpa suara.
***
Siapa bilang mahasiswa adalah agent of change?, itu salah besar!.. Mahasiswa lebih tepat menjadi object of change, toh mereka tidak dapat membuat perubahan apa-apa…


-Novita De Araujo-
In deeply sorry, for my fellas “mahasiswa” out there
Purwokerto, Late October 07

Selasa, 26 Februari 2008

read on..


Send instant messages to your online friends http://uk.messenger.yahoo.com

Sometimes we walk..sometimes we runaway..from life..But whatever happens do, we still holdin on something..Reality bites hard, but it would never break us..