Minggu, 07 September 2008

BALADA PEMUDA BUTA TULI

Padamu Negeri, kami berjanji…
Bah!, sepenggal lirik menggelikan menggoda telingaku
Berjanji?, untuk kemudian diingkari. Janji..janji.. terus saja berjanji mengumbar janji untuk negeri ini dan takkan pernah ditepati

Padamu negeri, kami berbakti….
Berbakti?, apa yang akan kubaktikan padamu, wahai negeriku?, apa yang kupunya selain otak yang dangkal, bibir yang penuh dusta dan hati yang selalu berpura-pura?

Padamu negeri, kami mengabdi…
Mengabdi?, kuabdikan diriku hanya pada permata-permata dunia, yang menggiurkan dalam segala bentuk dan rupa, memuaskan dahaga akan materi-materi bergelimang dosa.
Dan untukmu negeriku?, takkan ada yang tersisa…

Karena aku buta…
Maka jangan kau paksa aku untuk melihatmu merintih menahan derita
Karena aku tuli…
Maka jangan kau jeritkan kepadaku tangisan-tangisan menyayat hati…

Bagimu negeri, jiwa raga kami….
Sungguh nelangsa kau, negeriku…
Yang kau punya hanya jutaan pemuda buta tuli sepertiku

-Novita P-
Purwokerto, Dec 07
KOMPLEKSITAS MANUSIA TERDIDIK

“Mereka biasanya pintar-pintar jika bicara dialektika, fasih ketika mengutip kata-kata klasik. Tapi dalam memandang kehidupan, mereka masih bayi…”
(A.S Neil dalam Paulo Freire, 2003)

Ternyata sulit jadi manusia terdidik. Bukan hanya sulit dalam pertaruhan masuk ke sebuah institusi melawan beberapa ribu orang dan melawan tinginya biaya yang disyaratkan, lalu ketika berproses di dalamnya diharuskan bergelut dengan teori-teori ajaib yang seolah-olah mengawang-awang di langit, dan ketika lulus, dihadapkan pada praktik yang ternyata sangat “membumi” sekali, dan runtuhlah semua teori-teori langit dan keajaiban bahasa-bahasa “dewa” kaum intelektual, karena mereka, manusia-manusia terdidik ini, harus kembali pada masyarakat. Dan sesungguhnya pembelajaran bagi mereka justru baru dimulai, dengan kurikulum yang tidak pernah diajarkan di institusi manapun, the lessons of life.
Kultur masyarakat Indonesia yang cenderung menghargai symbol formal, terkadang membuat penghargaan terhadap manusia dengan gelar pendidikan dihargai lebih. Kepemilikan ijazah sarjana merupakan symbol konkret yang membuat mereka terpandang strata sosialnya. Sekolah-sekolah umum pun tidak lepas dari paradigma bahwa mereka memiliki kapasitas untuk memajukan anak didik secara intelektual, dibandingkan dengan sekolah kejuruan. Hal ini juga terjadi di kalangan mahasiswa, sulitnya bertaruh dengan biaya pendidikan tinggi yang sedemikian mahal, membuat mahasiswa berusaha secepat mungkin menyelesaikan pendidikan untuk meminimumkan biaya pendidikan. Hal ini tentunya akan berpengaruh dalam megubah orientasi belajar mahasiswa dalam menggali ilmu, dan beralih pada prioritas mempercepat kelulusan. Walaupun secara teori penguasaan mereka bagus, namun mereka belum siap untuk terjun langsung mengaplikasikan teori-teori yang mereka dapat. Hal ini diperparah dengan kenyataan bahwa selama masa kuliah, mahasiswa seringkali diharuskan menempuh beberapa mata kuliah yang kurang berguna, karena semua teori dan buku-buku tebal yang dilahap setiap hari, justru tidak membentuk karakter manusia dalam menentukan nasib mereka sendiri.
Bukan rahasia lagi, jika banyak dari manusia-manusia terdidik ini, tertatih-tatih ketika keluar dari “akuarium” institusinya. Mereka megap-megap ketika dituntut harus beradaptasi dengan realitas yang ada. Institusi seharusnya tidak diposisikan menjadi sebuah laboratorium bagi kehidupan mereka kelak, dan menjadi tempat mereka untuk berobservasi, laboratorium sosial mereka seharusnya adalah masyarakat dan observasi mereka seharusnya dilaksanakan di dalam lingkungan masyarakat. Institusi adalah sebuah “perantara” bagi mereka, dengan menyediakan sebanyak mungkin ruang-ruang yang mengakomodir kebutuhan mereka dan juga kebutuhan masyarakat. Proses pembelajaran akan terjadi bagi si manusia terdidik karena sebagai calon teknokrat dan birokrat, dirinya tahu kondisi riil masyarakat, dan mereka diharapkan untuk dapat membuat perencanaan yang didasarkan pada kondisi riil tersebut.
Jika ada sebuah anggapan bahwa tujuan bersekolah tinggi itu sebetulnya adalah arah mobilitas vertikal bukan ke bawah, saya tidak setuju. Mobilitas vertikal hanya akan menjebak manusia-manusia terdidik dengan akses penguasaan teknologi informasi, informatika, jaringan kerja dan jaringan modal, dan tidak akses ke masyarakat. Jika anggapan ini berlaku, maka institusi hanya memiliki peran sebagai pusat pencetak ijasah, tidak lebih.
Jika anda termasuk golongan manusia terdidik, memang sangat kompleks tuntutan yang anda hadapi saat ini. Di satu pihak anda dituntut menjadi objek dari globalisasi dengan segala ke-sophitiscated-an nya, dan disisi lain anda ditantang untuk kembali ke masyarakat, mengamalkan apa yang telah anda dapatkan di bangku sekolah. Perlu sebuah perenungan akan makna pendidikan yang mendalam bagi manusia-manusia terdidik ini, agar kelak mereka dapat dengan cepat menemukan identitas dirinya setelah lulus. (Nov)

Sometimes we walk..sometimes we runaway..from life..But whatever happens do, we still holdin on something..Reality bites hard, but it would never break us..