Minggu, 19 April 2009

Melihat Demokrasi dari bu Sutri

Matahari masih belum terlalu tinggi ketika saya leyeh-leyeh di teras rumah pak Kades hari itu. Asyik mengobrol sambil sesekali bercanda tawa dengan teman-teman, tiba-tiba sebuah SMS masuk ke ponsel saya. Saya tersenyum melihat nama pengirim yang tampil di layar, Bu Sutri. Beliau adalah pedagang bubur kacang hijau di desa tempat saya melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN). Setiap Hari beliau berkeliling kampung sambil menggendong bakul berisi bubur kacang hijau yang dijajakannya. Kami menjadi teman ngobrol yang cukup dekat setelah saya dan teman-teman menjadi langganan tetap beliau di pagi hari. Selain menjadi penjual bubur kacang hijau, ibu yang satu ini juga aktif sebagai kader Posyandu di salah satu dusun yang ada di desa saya. Hal itu membuat intensitas pertemuan kami bertambah.
Saya teruskan membaca SMS beliau
“ Mbak, kapan mau main ke tempat saya?, ditunggu lho…”
Saya kembali tersenyum. Berulang kali ibu yang baik hati ini mengajak kami untuk menyambangi rumahnya, namun kami belum sempat mengunjunginya dikarenakan jadwal KKN kami yang cukup padat. Setelah berdiskusi sebentar dengan teman-teman mengenai isi SMS-nya, disepakati keeseokan harinya kami akan berkunjung ke rumah beliau. Segera saya kirimkan balasan SMS ke beliau yang memberitahukan rencana kedatangan kami, diikuti balasan lain dari beliau yang menunjukkan suka cita akan kedatangan kami.
Minggu siang begitu cerah ketika kami pergi ke rumah bu Sutri hari itu. Jalan tanah yang masih sedikit basah sisa dari hujan semalam membuat perjalanan sedikit terhambat dikarenakan motor yang saya kendarai berkali-kali harus terpeleset. Hitung-hitung off road, canda teman saya. Bu Sutri menunjukkan raut wajah cerah ketika akhirnya kami sampai ke rumah beliau. Ada sedikit kekecewaan yang tersirat di matanya ketika melihat kami hanya dating berempat, bukan full team 10 orang seperti yang diperkirakan beliau sebelumnya. Namun, sedetik kemudian sirat kekecewaannya hilang dari matanya ketika kami berlarian menghampiri sembari mencium tangan beliau.
“ Ibu pikir kalian nyasar kok nggak sampai-sampai, padahal janjiannya kan jam 1”,ujar beliau khawatir. Kami hanya bertukar pandang salah tingkah, maklum tipikal mahasiswa Indonesia, kalau janji jam 1, itu berarti jam 1 lewat banyak sekali.
Di dalam rumah bu Sutri yang adem itu, kami disuguhi bermacam-macam hidangan yang membuat kami semakin merasa betah saja. Pisang goreng, kacang goreng, rambutan, kue bolu hingga gado-gado ludes kami sikat. Pembawaan bu Sutri yang ramah membuat obrolan kami mengalir. Beliau bercerita tentang aktivitasnya sehari-hari yang cukup padat, hingga keluarganya. Pembicaraan mulai menarik ketika kami mengobrol masalah pemilu.
“ Tau nggak sih, mbak. Di rumah saya ini ada 4 orang, dan partai kita berempat beda-beda lho,” buka bu Sutri.
Salah seorang teman saya bertanya apakah salah satu anggota keluarga tidak pernah berusaha mempengaruhi anggota keluarga yang lain untuk ikut ke partainya. “ Keluarga kami semuanya saling menghormati pilihan masing-masing. Kita nggak pernah mempengaruhi yang lain. Pokoknya kalau musim kampanye, rumah jadi warna-warni, mbak”, jawab bu Sutri gembira.
“ Kami pendukung yang loyal lho”, lanjut beliau
“ Saya golkar, suami PAN, kakak saya PKS dan anak saya partai democrat. Kami sudah bertahun-tahun setia dengan partai masing-masing. Pokoknya nggak bisa pindah ke lain hati deh”, Bu Sutri meneruskan ceritanya.
“ Saya salah satu simpatisan Golkar yang paling aktif lho. Saya sudah ikut kampanye kemana-mana, dari desa-desa sampai ke kota. Dari naik kijang enak, sampai naik truk kambing”, bu Sutri tertawa sendiri membayangkannya.
“ Semua saya lakukan atas dasar ikhlas. Saya nggak pernah dibayar sepeser pun. Kalau Golkar menang juga saya nggak berharap kecipratan apa-apa. Kadang, ada caleg dari partai lain yang sampai bela-belain datang ke rumah saya untuk minta dukungan dan supaya saya pindah partai. Tapi namanya sudah cina, gimana ya”, tutur beliau.
Hati saya tergerak untuk bertanya apa yang membuat bu Sutri begitu cinta pada partainya hingga faktor materi pun tidak beliau indahkan. Diam-diam hati saya sedikit tersentuh mendengar cerita beliau sebelumnya.
“ Saya suka Golkar karena….”, jawaban beliau terputus untuk berdehem sebentar
“ Karena saya suka warna kuning…” GUBRAKKK…
Belum sadar kekagetan saya dan teman-teman mendengar jawaban beliau, tiba-tiba beliau menambahkan
“ Dan karena saya suka gambar pohon beringin, kesannya adem”, GUBRAKKK lagi…
Mendengar jawaban polos bu Sutri, justru menambah kemirisan saya. Apalagi ketika beliau meneruskan ceritanya tentang orang-orang yang ada disekutarnya pun memilih partai atas pertimbangan-pertimbangan naïf seperti itu. Ada yang karena suka pada warna partainya, lambangnya, bintang iklan kampanyenya, hingga calon presidennya yang (katanya) ngganteng. Kemirisan saya hari itu merupakan akumulasi dari kemirisan-kemirisan sebelumnya melihat realita politik di negeri ini. Ketika salah satu program KKN yang saya tawarkan adalah “Pendidikan Politik Rakyat”, program tersebut langsung ditolak mentah-mentah bahkan sebelum saya sempat memfloor-kannya. Alasan yang dikemukakan pun menggelikan, “ Lebih baik mahasiswa tidak usah ikut campur masalah politik-politikan. Sudah mau dekat pemilu, politik itu isu yang sensitive”. Justru menggelikan karena pesta demokrasi sudah dekat, tapi rakyat tidak pernah diberi kesempatan untuk mengeksplorasi demokrasi sendiri. Lantas, siapa yang diharapkan akan mamou membukakan kesempatan belajar atau menjadi fasilitator pendidikan politik di masyarakat?, mengharapkan tangan pemerintah?, Bah!, sama saja berharap hujan salju di musim kemarau.
Politik selalu saja diidentikkan dengan sesuatu yang “tabu”, yang “sensitive”, sehingga akses untuk menjangkau ranah politik selalu terganjal oleh norma semu yang sebenarnya diciptakan oleh manusia sendiri. Sayangnya, identifikasi politik sebagai “produk tabu” justru mematikan peluang pemahaman demokrasi secara menyeluruh kepada rakyat. Pada akhirnya, demokrasi hanya dipahami sebatas definisi-dari,oleh dan untuk rakyat. Pemilu pada akhirnya hanya merupakan prosesi penghambur-hamburan uang rakyat, namun minim esensi. Kampanye bombastis, semarak warna-warni yang menusuk mata, berakhir menjadi pesta demo-kreasi, bukan demokrasi. Sungguh anti klimaks. (novi)

Jumat, 27 Maret 2009

Tuhan

Dan tiba-tiba aku terbangun dalam wujud Tuhan..
Tanpa cacat, tak bercela nan rupawan..
Sekelibat gairah menyentakku dalam angan,
Menggenggam dunia semudah membalikkan telapak tangan..

Dan tiba-tiba kusadari bukan hanya aku yang berwujud Tuhan..
Ayahku, Ibuku, teman-temanku, orang -orang yang lalu lalang di sekitarku ternyata adalah Tuhan..
Lalu tiap Tuhan akan membangun pilar-pilar kedigdayaan,
Mencipta hukum Maha dahsyat tak terlawan..
Dan Kami, para Tuhan, mulai bersabda ; “ Wahai manusia, akulah sumber kebenaran, maka dengarkanlah..Akulah sumber kesucian, maka jika kau bernoda enyahlah..Akulah pemegang hukum tertinggi dan kau tidak bisa menawar lagi.. Dan aku sumber pengampunan bagi tiap-tiap kesalahan. .”

Aku terkoyak dalam wujud Tuhanku..
Menyaksikan jutaan manusia berlomba menjadi Tuhan..
Haus keagungan dan penuh kemutlakan..
Mutlak benar..mutlak tahu..mutlak suci..mutlak menang..dan mutlak atas segala perkara kehidupan..
Terlalu banyak Tuhan..terlalu banyak kemutlakan..terlalu banyak penghakiman..
Aku lelah dalam wujud Tuhanku,
Karena Tuhan dan pengadilannya terlalu banyak untuk satu dunia..
Seolah tak kenal azab Sang Maha Tuhan, Dia yang menciptakan para Tuhan..
Dalam wujud Tuhanku, aku bergidik ketakutan..


-Novita-
November 2008
In my lonely road that I've chosen..

Sometimes we walk..sometimes we runaway..from life..But whatever happens do, we still holdin on something..Reality bites hard, but it would never break us..