Jumat, 29 Februari 2008

Sebuah Investasi Bernama Pendidikan

Sebuah Investasi Bernama Pendidikan
Oleh : Novita Puspasari*


“ Indonesia perlu berinvestasi lebih serius di bidang pendidikan. Tidak hanya sekedar untuk memenuhi hak-hak dasar warga negara, tetapi juga meletakkan dasar bagi pertumbuhan ekonomi dan menjamin kelangsungan demokrasi jangka panjang. Ini merupakan sebuah invetasi yang besar”(Membiayai Pembangunan Manusia Indonesia,2004)


Mengapa kita harus berinvestasi dalam bidang pendidikan ?
Berinvestasi dalam bidang pendidikan adalah sebuah upaya nyata dalam menterjemahkan salah satu poin dari Tujuan Pembangunan Millenium (TPM) yaitu : “mewujudkan pendidikan dasar untuk semua” yang harus mutlak tercapai pada tahun 2015. Saat ini bangsa Indonesia mengharapkan adanya kebijakan publik yang menganut prinsip bahwa manusia bukan sekedar alat pembangunan, tetapi juga menjadi tujuan akhir pembangunan. Pendidikan adalah sarana untuk membekali manusia-manusia Indonesia agar dapat survive dengan perubahan dan tantangan zaman, sehingga diharapkan setelah melalui proses yang dinamakan pendidikan tersebut, masyarakat dapat menjadi tujuan akhir pembangunan. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah : mengapa kita harus berinvestasi dalam bidang pendidikan?. Ada dua alasan mengapa pendidikan menjadi sebuah ladang investasi yang menjanjikan. Pertama, pendidikan adalah dasar bagi pertumbuhan ekonomi. Kedua, pendidikan akan menjamin kelangsungan demokrasi dalam jangka panjang.


Dasar Bagi Pertumbuhan Ekonomi
Investasi publik dalam sektor sosial adalah sesuatu yang masuk akal karena adanya hal-hal eksternal yang besar. Hal-hal eksternal adalah imbas kegiatan ekonomi yang tidak diperhitungkan oleh sistem pasar. Pendidikan mengandung hal-hal eksternal serupa itu pula. Membantu meningkatkan keterampilan akan menaikkan tingkat pendapatan dan mobilitas sosial. Pendidikan juga berpengaruh pada lingkaran kesehatan, gizi dan kemiskinan. Seseorang yang berpendidikan lebih baik akan lebih sadar gizi dan pentingnya kebersihan serta pola hidup yang sehat. Investasi di bidang pendidikan tidak hanya bernilai bagi individu-individu yang terlibat tetapi juga untuk masyarakat secara keseluruhan melalui peningkatan produktivitas, yang kemudian berimbas kepada meningkatnya pendapatan nasional.
Disini, pendidikan diposisikan sebagai “barang publik” yang manfaatnya dapat dirasakan oleh individu maupun masyarakat secara keseluruhan. Output yang dihasilkan jika masyarakat semakin terdidik, maka ekonomi akan semakin produktif dan pada gilirannya pendapatan nasional akan meningkat. Ada sebuah alur yang tercipta antara investasi sektor sosial – dalam hal ini pendidikan- dengan pertumbuhan ekonomi.


Menjamin Kelangsungan Demokrasi dalam Jangka Panjang
Logikanya, orang yang lebih terdidik akan lebih mampu mengartikulasikan posisi mereka dan berpartisipasi secara bermakna dalam kegiatan-kegiatan sosial dan politik. Mereka juga dapat menjadi “modal sosial” yang akan menjadi dasar bagi toleransi, perdamaian, dan keselarasan yang merupakan hal yang penting bagi Indonesia yang tengah mengkonsolidasikan langkahnya menuju demokrasi.

Problematika dalam Investasi
Ketika bicara tentang investasi, maka tidak dapat terlepas dari efektifitas dan efisiensi. Yaitu dengan menggunakan cost yang serendah-rendahnya untuk mendapatkan produk dan profit yang setinggi-tingginya. Di dunia pendidikan diibaratkan seperti menggunakan modal dan kapasitas yang minim (guru dan fasilitas yang serba kurang) untuk menciptakan tenaga-tenaga terdidik atau lulusan yang mempunyai kapabilitas tinggi. Kinerja Indonesia yang buruk menurut standar internasional mencerminkan tingkst investasi yang rendah. Pengeluaran Indonesia di bidang pendidikan sekitar 1,5% dari PDB. Bandingkan dengan negara-negara di Asia lainnya ; Thailand 30%, Myanmar 18%, Bangladesh 16%, Nepal 14% dan Bhutan 13% (Ekonomi dari Demokrasi,2006). Sungguh suatu proporsi yang jauh dari ideal. Nilai pengeluaran relatif rendah bahkan meskipun sebagai proporsi dari Anggaran Belanja Pemerintah. Jadi, berapa banyak lagi yang perlu dikeluarkan Indonesia untuk memenuhi hak atas pendidikan?. Dengan investasi yang terkesan “setengah-setengah” dan pengeluaran untuk bidang pendidikan yang relatif rendah, hampir mustahil rasanya untuk mengharapkan hasil yang baik pada sektor ini.

Lalu, Apa yang perlu dilakukan?
Sebenarnya ada beberapa hal yang dapat dilakukan jika pemerintah memang serius berinvestasi disini. Pertama, investasi dapat dikonsentrasikan di sekolah-sekolah negeri yang mendidik mayoritas warga ; Perbaikan mutu, mencakup pengadaan buku-buku, memfasilitasi sarana dan prasarana yang memadai, perbaikan kesejahteraan guru dan perbaikan kurikulum. Kedua, pada sektor pendidikan, perlu ditetapkan target yang luas. Beasiswa untuk anak-anak miskin dapat menjadi target skala kecil, namun target skala besar terbaik adalah dengan memperbaiki kualitas pendidikan. Ketiga, memperbesar proporsi pengeluaran di bidang pendidikan. Jika kita menghitung berapa banyak yang harus dihabiskan untuk berinvestasi di bidang ini, mungkin akan muncul angka-angka yang cukup besar. Tetapi toh sebenarnya di dalam Undang-Undang Dasar Indonesia, sebagaimana telah diubah pada tahun 2002, mengharuskan negara untuk mengadakan pengeluaran yang lebih besar lagi, sebagaimana tercantum dalam Pasal 31 (4) yang berbunyi: “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan paling sedikit sebesar 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.


Investasi dalam bidang pendidikan cukup menjanjikan jika pemerintah memberikan perhatian yang besar dalam penanaman “modal”-nya. Melihat dari peran pendidikan yang memberikan sumbangsih sangat besar dalam jangka panjang, sudah sepatutnya kita tidak setengah-setengah berinvestasi di dalamnya. The more you invest, the more you get..................[]




*Penulis adalah mahasiswa jurusan Akuntansi SKS 2005
Wakil Pemimpin Umum Lembaga Pers Mahasiswa Media Ekonomi 2007

Aku dan pendidikan_a short story

AKU DAN PENDIDIKAN

Mengapa orang-orang selalu menggerutu tentang hidup mereka?, selalu menyalahkan nasib mereka?, kenapa tidak mereka nikmati saja hidup yang singkat ini.. Karunia Tuhan yang begitu indah untuk disa-siakan hanya dengan mengutukinya…

Pagi ini, seperti pagi-pagi lainnya, aku terlambat lagi. Sudah hampir sejam kuliah berlangsung, namun aku tetap memberanikan diri untuk masuk. Pak dosen yang sedang menjelaskan materi di depan kelas memelototiku dengan tajam, aku hanya membalasnya dengan senyum penuh penyesalan. Kemudian pak Dosen hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Sepertinya ia sudah tidak dapat berkata apa-apa lagi terhadapku. Sudah puluhan kali aku mengikuti kuliahnya dan tidak sekalipun aku datang tepat waktu. Kuhempaskan tubuhku di atas kursi kayu yang cukup keras, kuambil buku-buku kumal dari dalam tasku yang tidak kalah kumal, lalu kuambil satu-satunya pulpen milikku. Aku mengambil napas panjang, membaca doa, menghapus keringat sebesar biji jagung di wajahku, lalu aku memusatkan konsentrasi, aku siap untuk menyerap apa yang diberikan pak Dosen hari ini walaupun waktu yang tersisa tidak banyak.
Sebenarnya aku tidak ingin datang terlambat setiap pagi, aku ingin datang tepat waktu seperti teman-teman lainnya. Aku ingin menyerap secara utuh materi yang diberikan oleh para dosen. Tapi apa boleh buat, aku memiliki kewajiban lain di pagi hari. Sejak jam 3 pagi aku sudah bersepeda ke pasar untuk membantu ibuku membeli sayuran di pasar yang kemudian akan dijualnya lagi berkeliling. Setelah itu, aku mengambil Koran di agen Koran yang berada di dekat pasar untuk kemudian kuantarkan ke berbagai tempat di penjuru kota ini. Apakah kau pikir aku merasa terbebani oleh semua rutinitas pagi itu?, tidak, kawan. .Tidak sedikit pun aku merasa berat untuk melakukan semuanya. Aku mencintai pekerjaanku, kawan. Aku sangat mencintainya…
Sampai detik ini,tidak pernah terbersit di benakku bahwa aku akan dapat menikmati sebuah kemewahan di dalam hidupku ini. Kupikir memiliki keluarga yang utuh dan sehat, dapat menikmati makanan tiga kali sehari sudah merupakan surga dunia. Tidak dinyana, Tuhan memberikan kemewahan yang tiada tara bagiku, bahkan membayangkannya saja aku tidak mampu. Kemewahan itu adalah pendidikan. Sebuah kata yang terlampau indah untuk dibayangkan.
Sejak hari pertama aku menginjakkan kaki di Sekolah Dasar Negeri 67 Pasar Baru hingga sekarang aku duduk di bangku semester empat Universitas Negeri, aku telah berjanji di dalam diriku sendiri bahwa apapun yang terjadi aku tidak akan melepaskan kemewahan yang telah diberikan Tuhan kepadaku. Menyia-nyiakan pemberian Tuhan itu adalah sebuah dosa besar. Dan aku tidak ingin menjadi seorang pendosa. Maka kuabdikan sepenuhnya jiwa dan pikiranku kepada ilmu pengetahuan. Kepada sebuah dunia asing yang terbentang di hadapanku. Yang menunggu eksplorasi dari otakku, rengkuhan dari setiap indraku.
Bukan berarti selama lima belas tahun perjalananku menikmati kemewahan itu, aku tidak pernah terjatuh. Berkali-kali aku terjatuh, bahkan beratus-ratus kali aku sudah tersandung. Aku tidak ingat lagi berapa kali aku tidak bisa ikut ujian karena belum melunasi SPP, atau tidak bisa berangkat ke sekolah karena sepeda, baju sekolah, dan sepatuku satu-satunya digadaikan untuk memenuhi tuntutan perut, atau harus bekerja nyaris lima belas jam di Gudang Lelang Ikan agar dapat membayar biaya sekolahku. Ah, Itu belum seberapa kawan, jika dibandingkan dengan balasan berupa kemewahan pendidikan yang akan kudapatkan. Aku tidak akan menyerah hanya karena hal-hal sepele seperti itu. Aku takut jika aku melepaskan kemewahan itu barang sekejap saja, Tuhan tidak akan mau lagi memberikannya kepadaku.
Lima kilometer yang kutempuh dengan sepedaku untuk sampai ke SD, SMP dan SMA-ku, dan sepuluh kilometer lagi yang harus kutempuh untuk dapat sampai ke kampusku, adalah perjalanan paling singkat bagiku. Setiap inci kayuhan sepeda merupakan saat-saat paling mendebarkan sekaligus membahagiakan, karena belum pernah selama hidupku aku merasa begitu ingin cepat sampai ke suatu tempat selain sekolah dan kampus. Sensasi yang kurasakan dalam perjalanan itu tidak pernah hilang bahkan tidak berkurang sedikitpun selama hampir lima belas tahun kujalani. Ya Tuhan, jika ada saat-saat yang paling tidak sabar kunantikan setiap harinya, saat-saat itu adalah saat aku duduk di bangku kayu, menyerap semua yang diberikan oleh jelmaan malaikatmu, seorang guru…Penjelasan guru adalah melodi terindah yang dapat ditangkap telingaku, yang mengantarkanku mengunjungi tempat-tempat terjauh dalam pikiranku.
Begitupun hari ini, ketika aku diam termangu menatap daftar nama-nama penerima beasiswa di kampusku. Tidak kutemukan nama Dedi Anshori, namaku, disana. Apakah aku kecewa?, manusiawi sekali jika kukatakan aku memang sedikit kecewa. Hanya sedikit, tolong digarisbawahi kalimat itu. Sebagai seorang manusia beragama, aku dididik agar tanganku tidak selalu dibawah. Jika Tuhan tidak memberikan jalan lewat beasiswa, toh aku masih memiliki sebuah tubuh muda yang bugar tanpa cacat dan akal yang sehat. Lihatlah wahai dunia, lihatlah bagaimana seorang anak manusia berusaha memuaskan dahaganya atas sebuah kenikmatan dunia, ilmu pengetahuan.
Jika kau anggap kemiskinan adalah hal yang paling menjijikkan di dunia, maka sebaliknya bagiku. Tidak ada yang salah dengan kemiskinan, tidak ada yang salah dengan menjadi miskin. Yang salah adalah jika kemiskinan kau anggap sebagai batasan dalam meraih mimpimu. Boleh saja aku memiliki keterbatasan materi, memiliki keterbatasan akal, namun jangan sampai aku memiliki keterbatasan semangat. Kau akan mati tanpa semangat, tanpa mimpi, percayalah padaku.
Kubangun mimpiku melalui lembar demi lembar uang ribuan di bawah tumpukan baju di lemariku. Kubangun mimpiku melalui buku-buku pinjaman yang kubaca di bawah remang lampu minyakku. Kubangun mimpiku melalui berjam-jam kayuhan sepedaku. Kubangun mimpiku melalui tetesan peluh di setiap pagiku.
Maka, tidaklah komentar pesimis orang-orang tentang akan hancurnya sistem pendidikan di negeri ini dapat mematikan semangat membaraku. Jangan pernah dengarkan komentar-komentar menyedihkan seperti itu, kawan. Apa yang akan kau dapatkan dari mengutuki dan menyalahkan?. Aku terlampau lelah dengan sinisme membabi buta. Aku percaya bahwa kemurnian pendidikan akan membawa ilmu pengetahuan kembali pada kodratnya.

Novita De Araujo
Late at nite on November,07
For those who believe with ur dream..

KKN PBA, Pemerintah serius nggak sih?

PBA, Pemerintah serius nggak sih?

Hingga saat ini, proyek Pengentasan Buta Aksara (PBA) masih menjadi tanda tanya bagi banyak pihak. Mulai dari proyek seperti apa PBA, dana yang dipergunakan, plotting tempat KKN hingga mengapa pelaksanaan teknisnya dilakukan oleh mahasiswa. Pihak yang paling berkompeten untuk menjawabnya dalam hal ini adalah pihak pemerintah. Pihak pemerintah, terutama di wilayah Banyumas, yang dapat dikatakan bersentuhan langsung dengan PBA adalah Badan Pembangunan Daerah (Bappeda), Dinas Pendidikan, dan Pendidikan Luar Sekolah (PLS).
Menjawab berbagai pertanyaan tentang PBA, pihak Bappeda mencoba menjelaskannya. Sebenarnya program PBA sendiri adalah program nasional. Lalu, mengapa Jawa Tengah menjadi provinsi yang paling gencar dalam usaha memberantas buta aksara?, tidak lain karena angka buta aksara yang ada di Jawa Tengah termasuk yang tertinggi di Indonesia. Oleh karena itu, Pemerintah Daerah Jawa Tengah berusaha keras untuk memberantas buta aksara sehingga Jawa Tengah bebas buta aksara tahun 2008. Berbagai upaya dilakukan oleh Pemerintah Daerah, termasuk melibatkan berbagai pihak seperti PLS, LSM, PKK hingga mahasiswa. “Semua pihak turun tangan untuk program PBA ini, karena buta aksara bukan hanya merupakan tanggung jawab pemerintah namun juga tanggung jawab seluruh elemen masyarakat”, jelas salah satu petinggi Bappeda.
Dalam pelaksanaan teknisnya, masih menurut Bappeda, mahasiswa akan bekerjasama dengan PLS di lapangan. Media yang digunakan mahasiswa untuk berperan serta dalam PBA adalah melalui program Kuliah Kerja Nyata (KKN). Dalam setahun, KKN hanya berlangsung dua kali, oleh karena itu untuk mengisi masa-masa kosong KKN, PLS yang akan menggantikan mahasiswa dalam menangani warga belajar. Masa-masa kosong KKN perlu diisi PLS karena PBA sendiri adalah program yang berkelanjutan. Program PBA terdiri dari Sukma I-III. Jika hanya mengandalkan mahasiswa yang KKN, program ini tidak akan efektif karena rentang waktu yang cukup panjang antara satu KKN dengan KKN berikutnya sehingga dikhawatirkan warga belajar tidak lagi mengingat program sebelumnya. Ini pelaksanaan teknis idealnya versi Bappeda, namun bagaimana kenyataan di lapangan?, ketika Tim Senthir mengunjungi beberapa desa yang merupakan tempat berlangsungnya KKN PBA diluar masa KKN, tidak terlihat aktivitas belajar mengajar yang dilakukan oleh pihak PLS. Begitupun dengan pihak LSM dan PKK yang menurut Bappeda telah dirangkul untuk membantu menyukseskan program ini. Lalu, bagaimana dengan nasib para warga belajar di periode itu?, warga belajar ternyata hanya dapat menunggu proses belajar mengajar berlanjut pada sesi KKN enam bulan yang akan datang. Sehingga kesan yang kemudian muncul adalah proyek PBA merupakan proyek khusus mahasiswa. Jadi, Kemanakah pihak-pihak yang disebutkan akan turun tangan dalam membantu program PBA?
Untuk plotting daerah-daerah KKN sendiri, Bappeda bekerjasama dengan Dinas Pendidikan untuk mendapatkan data-data tentang daerah-daerah dengan tingkat buta aksara yang cukup tinggi di wilayah Jawa Tengah. Namun ketika dikonfirmasi lebih lanjut, pihak Dinas Pendidikan enggan merinci klasifikasi daerah-daerah yang dikatakan memiliki tingkat buta aksara yang cukup tinggi. “Yang jelas mahasiswa Unsoed hanya kebagian untuk menangani PBA di wilayah Jawa Tengah saja, tidak seperti mahasiswa UGM yang menangani wilayah Jawa Tengah, Jawa Barat dan Jawa Timur”, ujar salah satu pegawai Dinas Pendidikan secara singkat. Masih lanjut pihak Dinas Pendidikan, yang memiliki banyak informasi tentang daerah-daerah dengan tingkat buta aksara yang cukup tinggi adalah pihak Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM) karena pihak LPM-lah yang menjadi perantara antara pemerintah dengan pelaksana teknis PBA, dalam hal ini mahasiswa.
Metode pengajaran yang digunakan pada pelaksanaan PBA adalah metode langsung praktek. Ketika warga belajar tentang suatu kata, maka akan langsung diberikan contohnya. Misalnya warga belajar membaca “gergaji”, maka gergaji akan diberikan sebagai contoh sehingga akan mempermudah warga belajar untuk menyerap ilmu yang diberikan. Program PBA sendiri meliputi Calistung (Baca, Tulis, Hitung), dengan tingkatan program Sukma I-III. Tiap tingkatan membutuhkan waktu ajar hingga 6 bulan, itu jika PBA dilaksanakan oleh PKK atau LSM. Jika yang melaksanakan program PBA adalah mahasiswa, waktu ajar yang dibutuhkan justru lebih kilat lagi yaitu hanya satu setengah bulan sesuai dengan standar waktu KKN.
Bagaimana tingkat keberhasilan PBA sendiri dilihat dari perspektif pemerintah?. Menurut Bappeda program PBA dapat dikatakan berhasil. Parameter yang digunakan Bappeda adalah ketika ada kunjungan Bupati Banyumas ke daerah-daerah yang melakukan PBA, warga belajar dites oleh bupati, ternyata bebarapa orang yang dites oleh bupati telah dapat menulis dan membaca. Apakah hanya itu parameter yang digunakan untuk mengukur efektivitas KKN PBA menurut pemerintah?, ternyata memang hanya parameter itu yang diketahui Bappeda, disamping tentunya dari banyaknya jumlah sertifikat bebas buta aksara yang dikeluarkan. Secara kuantitas sertifikat, kriteria “berhasil” menurut Bappeda memang terpenuhi.
Untuk ukuran proyek berskala nasional, masih banyak yang harus dibenahi dengan konsep PBA mengenai siapa saja pihak yang akan terjun langsung menangani PBA, metode pengajaran yang dilakukan, hingga plotting daerah dengan tingkat buta aksara yang tinggi. Sungguh sangat disayangkan, untuk proyek sebesar PBA, konsep yang ada masih setengah matang. Hal ini dapat dilihat dari belum jelasnya pihak yang terjun langsung menangani PBA, hanya mahasiswa atau ada peran serta pihak lain?, metode instan yang digunakan dalam proses pembelajaran maupun parameter keberhasilan PBA versi pemerintah yang hanya sebatas banyaknya jumlah sertifikat bebas buta aksara yang dikeluarkan. Jika pemerintah benar-benar serius menggarap proyek ini, tidak mustahil tahun 2008 Jawa Tengah akan bebas buta aksara. Namun, dilihat dari berbagai kendala yang ada di atas, sebenarnya seberapa besar kadar keseriusan pemerintah dalam menggarap proyek ini?. (novi)

Suara hati seorang mahasiswa_a short story_

SUARA HATI SEORANG MAHASISWA..

Sumpek !!
Itu yang pertama kali kurasakan ketika kembali menginjakkan kaki di kota kecil ini. Kota yang telah hampir selama 4 tahun menjadi saksi perjuanganku mendapatkan gelar sarjana ekonomi. Kota yang begitu mempesonaku pada awalnya…
Sebulan lebih tiga hari,. aku meninggalkan kota ini untuk pulang ke kota asalku, sebuah kota besar yang tidak ramah. Sebenarnya aku memiliki waktu dua bulan untuk berlibur, namun ketidakramahan kota besar mengusirku untuk cepat-cepat kembali ke kota kecilku tercinta. Yang pertama kali kulihat ketika mataku menyapu jalan-jalan yang telah begitu kukenal adalah bertambah banyaknya kendaraan-kendaraan bermotor yang lalu lalang di sekitar kampusku, sebuah Universitas Negeri yang tidak kalah kecil. Lalu pandanganku jatuh pada sebuah fondasi bangunan yang berdiri tepat di sebuah lapangan di depan kampusku. Para pekerja yang berjumlah banyak tampak sibuk bekerja. Pemandangan yang tidak kulihat sebulan tiga hari yang lalu….
***
“ Itu proyek pembangunan city walk kampus kita, Ke”, Aldi, temanku menjelaskan padaku keesokan harinya ketika aku kembali lewat di depan kampus.
“Aku tahu tentang rencana pembangunan proyek itu oleh Universitas kita, tapi aku tidak tahu kalau hal itu benar-benar terwujud. Bukankah sebelumya sudah ditentang oleh mahasiswa dan warga sekitar?”, dahiku mengernyit.
“ Itulah gunanya punya kekuasaan Ke. Kau bisa menggunakannya kapanpun, dimanapun dan kepada siapapun. Meskipun proyek itu ditentang oleh sebagian besar mahasiswa, namun jika birokrat sudah berkehendak, semuanya pasti akan terlaksana”
“Ck..ck..ck..Birokrat sudah menjelma menjadi Tuhan rupanya di kampus ini”, aku menghembuskan napas dengan berat
***
“ Keke,sudah dengar tentang pembangunan X city walk yang ada di depan kampus kita?, katanya hanya membutuhkan satu tahun untuk menyelesaikannya lho..”, Dara, temanku yang paling centil berceloteh dengan riang.
“ Kau senang Ra?”
“ Ya jelas donk, Ke..Hebat kan kampus kita bisa punya pusat perbelanjaan sendiri?. Tidak semua kampus lho bisa begitu. Itu indicator kemajuan kota ini, Ke..”
“ Ya, tapi itu juga indicator degradasi moral pendidikan disini”, jawabku ketus sembari meninggalkan Dara yang terheran-heran mendengar jawabanku.
***
Ijinkan aku bernostalgia sejenak mengenang masa empat tahun yang lalu. Masa dimana aku baru saja lulus dari sebuah SMU berpredikat baik di kota asalku. Aku lulus dengan gemilang dan dalam sekejap tawaran kuliah dari beberapa Universitas terkemuka di kotaku pun berdatangan. Namun pikiranku saat itu melayang kepada sebuah kota kecil nan indah yang pernah kukunjungi ketika aku kecil. Keindahan, kedamaian, ketenangan kota itu serta kebersahajaan orang-orangnya telah mampu memikat hatiku dalam sekejap. Larangan orangtua dan teman-temanku tidak kuindahkan lagi. Hatiku mantap memilih kota itu. Kampus yang kecil beserta warganya yang sedikit membuat kami mengenal satu sama lain. Aku sangat menikmati masa-masa itu. Interaksi yang kurasakan antara mahasiswa, staf pengajar dan birokrat begitu erat. Kota ini pernah begitu ramah menyapaku…
Berawal dari sebuah sistem komersialisasi yang rupanya juga menyentuh dunia pendidikan, kampus ini berubah tidak ramah kepadaku. Setiap tahun jumlah mahasiswanya membengkak, bahkan melebihi kapasitas gedung-gedung kecil disini. Dan yang paling menyakitkan, pembangunan pusat perbelanjaan tepat di depan kampus yang notabene adalah proyek universitas ini juga. Interaksi diantara kami menjadi renggang. Sekarang yang ada hanyalah interaksi kampus ini dengan uang…
***
“ Ke, kenapa kau menjadi sedih atas pembangunan city walk itu?, kau tidak ingin kota ini menjadi maju?”, Dara yang rupanya masih penasaran akan pernyataan ketusku waktu itu kembali menemuiku
“ Bukan itu yang kusedihkan, banyak hal Ra..City walk hanya salah satu bentuk pengkhianatan kampus ini terhadap pendidikan”
“ Kau tidak ingin kampus kita menjadi lebih dikenal di Indonesia, Ke?”
“ Aku ingin kampus kita dikenal karena kualitasnya, bukan dengan hal seperti itu”, aku menggelengkan kepalaku
Dara terdiam sejenak, matanya menatap mataku dengan tatapan yang menyatakan seolah-olah aku telah mengatakan hal yang paling konyol yang pernah didengarnya.
“ Kau tidak ingin kota ini menjadi maju, Ke?. Kau tahu, aku lahir dan besar disini. Aku tumbuh dengan harapan bahwa kotaku suatu saat akan menjadi seperti kota-kota lain, menjadi sebuah kota yang maju dan berkembang”
“ Tapi bukan melalui media pendidikan, Ra”
“ Jika media pendidikan adalah sebuah cara yang paling mungkin, mengapa tidak?”, Dara bersikeras
“Jadi kau pikir semua ini tepat, Ra?”, tanyaku miris
“ Ya”
Dan aku pun berlalu lagi dengan gundah….
***
Keringat membasahi tubuhku. Teriknya sinar matahari tidak menghalangi niatku dan berpuluh kepala lainnya untuk berorasi di depan Gedung Rektorat. Teriakan-teriakan, nyanyian-nyanyian, bahkan sumpah serapah kami tidak diindahkan oleh orang-orang yang berada di dalam sana. Yang setia mendengarkan kami hanya beberapa orang satpam. Ironis, melihat hanya berpuluh kepala yang ada disini dari total ribuan mahasiswa kampus ini. Ironis, memiliki birokrat yang buta tuli.
Kusingkirkan jauh-jauh pikiran bahwa apapun yang terjadi birokrat tetap berkuasa, proyek itu akan terus berlanjut dan mahasiswa akan tetap sama, menjadi anjing yang menggonggong tanpa suara….Kutanamkan dalam pikiranku bahwa kami, mahasiswa, bisa merubahnya. Kendatipun berat rasanya melihat kenyataan yang ada dan melihat sedikitnya mahasiswa yang peduli. Apakah kami benar-benar mewakili suara hati para mahasiswa?, mewakili perjuangan para mahasiswa?
Dan aku pun berkubang dalam gundah lagi…..
***
Seminggu lagi X City Walk akan segera dibuka. Berpuluh baliho dan umbul-umbul di sepanjang jalan menuju kampus mengundang masyarakat untuk datang ke sana. Walaupun masih seminggu lagi dibuka, namun euforia menyambut dibukanya mal pertama di kota ini telah menjangkiti berbagai kalangan, termasuk teman-temanku sesama mahasiswa. Mereka telah merencanakan apa yang akan pertama kali mereka beli disana atau bagaimana mereka akan menghabiskan waktu dengan hang out disana. Aku hanya dapat mengelus dada, ternyata apa yang aku dan berpuluh temanku perjuangkan beberapa bulan yang lalu tidak berpengaruh apa-apa. Proyek city walk tetap berjalan, banyak pihak tetap merasa senang, birokrat pastilah merasa menang.. Dan kami, mahasiswa-mahasiswa yang dulu berjuang tetaplah menjadi anjing yang menggonggong tanpa suara.
***
Siapa bilang mahasiswa adalah agent of change?, itu salah besar!.. Mahasiswa lebih tepat menjadi object of change, toh mereka tidak dapat membuat perubahan apa-apa…


-Novita De Araujo-
In deeply sorry, for my fellas “mahasiswa” out there
Purwokerto, Late October 07

Selasa, 26 Februari 2008

read on..


Send instant messages to your online friends http://uk.messenger.yahoo.com

Sometimes we walk..sometimes we runaway..from life..But whatever happens do, we still holdin on something..Reality bites hard, but it would never break us..