Sabtu, 14 Juni 2008

Pendidikan Indonesia ; Sudah Jatuh, Tertimpa Tangga, Eh, Kejeblos Lubang Pula..

Oleh : Novita Puspasari

Dunia pendidikan Indonesia dibuat miris kembali. Belum cukup dikagetkan oleh persentase anggaran pendidikan di APBN 2008 yang hanya sebesar 11, 8 persen dari total anggaran, Mahkamah Konstitusi (MK) Februari lalu memutuskan komponen gaji guru menjadi bagian dari anggaran pendidikan. Tidak hanya putusan MK yang membuat suram anggaran pendidikan. Anggaran pendidikan yang kini Rp 49,7 triliun tercancam terpotong 15 persen lagi. Sebab, muncul edaran dari menteri keuangan untuk menghemat 15 persen di berbagai departemen dan termasuk anggaran pendidikan. Keseriusan pemerintah untuk membangun manusia Indonesia melaui pendidikan perlu dipertanyakan kembali dengan adanya APBN 2008 yang konon katanya merupakan anggaran pro kemiskinan ini.

Gaji Guru yang Merupakan Bagian Anggaran Pendidikan

. Keputusan MK mengenai gaji guru yang masuk anggaran pendidikan itu merupakan “angin segar” bagi pemerintah karena tak perlu lagi pusing untuk menambah anggaran pendidikan hingga mencapai 20 persen APBN seperti yang diamanatkan UUD 45. MK mengambil putusan itu setelah mengabulkan permohonan guru asal Sulsel Rahmatiah Abbas dan dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar Badryah Rifai. Keduanya berdalil kerugian konstitusional telah dilanggar karena penetapan anggaran pendidikan 20 persen dari APBN dan APBD tidak memberi manfaat bagi guru dan dosen sebagai komponen pendidikan ( (NTT Online, Februari 2008).. Termasuk jika ada kenaikan anggaran pendidikan. Pasalnya, pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas mengecualikan komponen gaji pendidik dalam biaya pendidikan.
Padahal, gaji guru dan dosen yang diangkat oleh pemerintah seperti PNS pada umumnya, diatur tersendiri dalam Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil (PGPS) dan juga dimasukkan dalam RAPBN, vide pasal 49 ayat 2 UU Sisdiknas, maka akan berarti bahwa gaji para pendidik seluruhnya, baik yang PNS maupun non-PNS, harus ditanggung negara lewat APBN dan APBD, sungguh suatu hal yang sangat mustahil. Dalam UU Sisdiknas juga sangat gamblang dijelaskan bahwa anggaran pendidikan yang dicapai 20 persen adalah di luar gaji guru. Dengan dimasukkannya gaji pendidik itu, anggaran pendidikan yang saat ini baru mencapai 11,8 persen dalam APBN 2008 melonjak menjadi 18 persen. Semakin mudah bagi pemerintah dalam memenuhi angka 20% yang diamanatkan oleh UU. Namun, di sisi lain, akibat keputusan MK itu kewajiban pemerintah berkurang dalam menambah dana yang lebih besar untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Misalnya, peningkatan SDM atau penambahan fasilitas pendidikan.

Pemotongan 15 persen Anggaran Pendidikan

Dimasukkannya gaji guru ke dalam anggaran pendidikan, bukan merupakan pukulan terakhir untuk dunia pendidikan setelah persentase anggaran pendidikan dalam APBN 2008 hanya sekitar 11, 8 persen. Ada pukulan telak lain yang membuat babak belur dunia pendidikan. Berdasarkan surat edaran dari Menteri Keuangan Sri Mulyani Indarwati dengan nomor S-1/MK.02/2008. (Kompas, Rabu 27 Februari 2008), setiap departemen, termasuk departemen pendidikan, diwajibkan menghemat 15 persen. . Penghematan itu setelah pagu anggaran dikurangi gaji, kewajiban pembayaran utang, Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), dan hibah Penghematan tersebut adalah akibat pemerintah lebih memprioritaskan anggaran untuk alokasi pembayaran bunga dan cicilan utang pokok luar negeri yang mencapai Rp. 88 Triliun.( RMExpose.com, Februari 2008).
Langkah Menkeu tersebut masih menjadi kontroversi tersendiri lantaran melanggar ketetapan UU APBN 2008, karena dalam posisi pemerintah yang ingin mengajukan perubahan anggaran, seharusnya Menkeu mengajukan perubahan APBN tersebut melalui mekanisme RUU perubahan. Belum lagi dengan kebereratan dari berbagai komisi dan fraksi yang ada di DPR dan rawannya penurunan anggaran tersebut dari tuntutan masyarakat, karena dinilai melanggar sebagaimana yang digariskan dalam UUD ’45 bahwa anggaran pendidikan setiap tahun harus naik untuk nanti mencapai 20 persen dari APBN.
Terlepas dari kontroversi hukum yang ada, turunnya anggaran jelas membawa dampak luas bagi sejumlah program prioritas yang sifatnya mendesak. Pada tahun 2008, Depdiknas telah mencanangkan sejumlah program untuk menyelesaikan target wajib belajar Desember nanti. Selain itu, ada banyak program lain yang membuat Depdiknas berat untuk memotong anggaran. Diantaranya program peningkatan kesejahteraan pendidikan seperti tunjangan fungsional, tunjangan profesi, pendidikan sertifikasi guru, dan juga subsidi pendidikan melalui BOS ( Bantuan Operasional Sekolah). (Kompas, Rabu 27 Februari 2008).

Anggaran Pendidikan Sepatutnya Diprioritaskan

Langkah yang diambil pemerintah dengan tidak melakukan penambahan anggaran pendidikan di APBN 2008, memasukkan gaji guru ke dalam anggaran pendidikan, dan melakukan penghematan 15 persen di semua departemen, termasuk departemen pendidikan, merupakan sebuah bentuk inkonsistensi pemerintah atas pembangunan manusia berbasis hak asasi yang diusung pemerintah dalam rangka mempercepat tercapainya Millenium Development Goals (MDGs) yang mutlak tercapai di tahun 2015. Pendekatan hak asasi yang dilakukan pemerintah yaitu dengan melakukan pembenahan di sector pendidikan, kesehatan, kesejahteraan dll. Penentuan besarnya biaya pendidikan seharusnya dipertimbangkan secermat mungkin, mengingat hal itu akan berdampak buruk terhadap capaian pembangunan manusia karena pembangunan manusia merupakan kunci untuk memajukan bangsa ini.

Sepatutnya, anggaran pendidikan mendapat prioritas tinggi dalam pembangunan, agar sinkron dengan upaya untuk memajukan bangsa. Dikhawatirkan, jika tidak ada upaya ke arah itu, maka bangsa Indonesia akan kian tertinggal, bahkan akan terlampaui oleh negara-negara yang tingkat kemajuannya kini masih di bawah Indonesia, seperti Myanmar, Banglades, Nepal, dan Bhutan. Kekhawatiran itu tidaklah mengada-ada mengingat negara-negara yang tergolong miskin itu mengalokasikan anggaran pendidikan yang cukup besar. Berdasarkan catatan Unesco (2003), Myanmar mengalokasikan anggaran pendidikan sekitar 18 persen dari total anggaran belanja, Banglades16 persen, Nepal 14 persen, dan Bhutan 13 persen.

Minggu, 08 Juni 2008

Auditorium FE, Jalan Menuju Peningkatan Akreditasi?

Jika kita melintasi kompleks Fakultas Ekonomi Unsoed, akan terlihat pembangunan di bekas tempat parkir yang ada di selatan Gedung A. Pembangunan tersebut adalah pembangunan gedung Auditorium Fakultas Ekonomi. Ide pembangunan gedung Auditorium tersebut bermula dari keinginan pihak Fakultas untuk meningkatkan akreditasi masing-masing jurusan. Salah satu persyaratan peningkatan akreditasi adalah tersedianya sarana dan prasarana yang memadai di lingkungan kampus. Salah satu indikator sarana dan prasarana yang memadai dapat dilihat dari lay-out kantor yang ada di masing-masing jurusan. Idealnya, menurut Bapak Haryadi, Dekan FE, setiap dosen difasilitasi dengan kantor sendiri-sendiri untuk memudahkan mahasiswa dalam berkonsultasi dengan dosen sehingga akan dapat meningkatkan iklim akademik. Sementara yang ada di Fakultas Ekonomi saat ini, satu ruangan dapat dipergunakan oleh enam atau bahkan lebih dosen. Tentunya hal ini akan memberatkan dalam penilaian akreditasi, lanjut Pak Haryadi lagi.

Rencananya, Gedung Auditorium tersebut akan dibuat tiga lantai. Lantai pertama dipakai oleh jurusan Manajemen beserta laboratorium-laboratoriumnya. Sedangkan Dekanat yang semula menempati lantai dua Gedung D akan hijrah ke lantai dua Gedung Auditorium. Lantai ketiga khusus dipergunakan sebagai auditorium yang berkapasitas hingga 300 orang. Selain nantinya akan dipergunakan untuk kegiatan-kegiatan mahasiswa, auditorium ini juga akan dipergunakan untuk pelatihan-pelatihan soft skill yang dilakukan oleh para alumni. Lalu, bagaimana dengan Gedung D?. Gedung D masih akan ditempati oleh dua jurusan. Lantai pertama Gedung D akan dipergunakan oleh jurusan IESP, sedangkan lantai dua akan dipergunakan oleh jurusan Akuntansi. Setiap dosen dari masing-masing jurusan, baik yang ada di Gedung Auditorium maupun gedung D, akan mendapatkan kantor baru yang berukuran 4x4 meter persegi.

Pembangunan Gedung Auditorium ini diperkirakan akan selesai April 2008. Sedikit terkesan tergesa-gesa memang, jika mengingat peletakan batu pertamanya saja baru dilakukan 17 Maret 2007 dan proses pembangunannya dilakukan bulan berikutnya. Namun, menurut Pak Haryadi lagi, hal ini dilakukan untuk mengantisipasi badan assessor yang akan datang untuk meninjau ulang akreditasi jurusan Akuntansi pada bulan-bulan tersebut. Diharapkan dengan memadainya sarana dan prasarana yang dimiliki oleh tenaga pengajar akan mampu menaikkan akreditasi jurusan Akuntansi. Tidak heran jika para pekerja bangunan yang mengerjakan proyek tersebut bekerja siang dan malam demi mengejar tenggat waktu.

Untuk menyelesaikan sebuah proyek besar dengan waktu yang cukup singkat tentunya membutuhkan dana yang besar pula. Ketika disinggung mengenai hal ini, Bapak Jaryono, Pembantu Dekan II FE, mengaku tidak tahu menahu. Menurut Pak Jaryono, pembangunan Auditorium adalah proyek POM, Koordinasi yang dilakukan POM pun hanya sebatas dengan pak Dekan, sehingga pihak Fakultas tidak mengetahui apa-apa. Jika auditorium tersebut telah siap, maka POM akan menghibahkannya ke pihak Fakultas. Melihat betapa seriusnya usaha pihak Fakultas untuk meningkatkan akreditasi tiap jurusan, semoga hasil yang dicapai pun tidak mengecewakan. (zai-nov)

PENURUNAN DANA KEMAHASISWAAN, AKIBAT KURANGNYA KOORDINASI?

Sungguh mengenaskan nasib kegiatan mahasiswa di tahun 2008 ini. Pada Forum Anggaran yang difasilitasi BEM FE minggu lalu, terungkap bahwa Dana Kemahasiswaan yang sedianya dipergunakan sebagai pos pemasukan dari Fakultas guna menunjang kegiatan-kegiatan kemahasiswaan yang dilaksanakan oleh UKM/HIMA, turun drastic. Jika pada tahun 2007 kegiatan-kegiatan kemahasiswaan yang didanai Fakultas mencapai angka 130 jutaan, maka pada tahun ini angka yang di-acc untuk kegiatan kemahasiswaan hanya sekitar 95 juta. Itu belum dipotong untuk anggaran Desember 2007 yang dialokasikan ke anggaran 2008 sebanyak 15 juta rupiah. Sehingga total dana yang dapat diakses 16 UKM/HIMA tahun ini hanya sekitar 80 jutaan.

Salah satu alasan penurunan dana kemahasiswaan ini menurut Desi, Menteri Keuangan BEM FE adalah imbas dari persiapan UNSOED menuju BHP. Sehingga terjadi pemotongan dana yang dipergunakan untuk pilar jaringan dan pilar keilmuan, termasuk di dalamnya dana kemahasiswaan. Ketika dikonfirmasikan hal ini kepada Bapak Jaryono, selaku Pembatu Dekan II FE, beliau mengatakan bahwa tidak ada hal semacam itu. “ Tidak..tidak ada alasan itu. Mekanisme pengajuan dana adalah dari Fakultas- Universitas- Diknas-DepKeu lalu dirapatkan di DPR. Jadi angka yang keluar diluar wewenang kita. Itu dari pusat. Kebetulan tahun ini Pemerintah Pusat sedang mengadakan pemotongan anggaran di berbagai sector. Termasuk di dalamnya sector pendidikan sehingga imbasnya ada beberapa yang terpaksa mengalami penurunan, termasuk di dalamnya dana kemahasiswaan”. Ketika ditanyakan berapa persentase penurunan anggaran untuk sector pendidikan, beliau mengaku kurang paham. “ Pokoknya beberapa persen, tapi saya kurang paham”.
Dari Forum Anggaran pula terungkap bahwa pihak Fakultas mengajukan nominal 150 juta untuk dana kemahasiwaan tahun 2008. Lalu darimana dasar keluarnya jumlah nominal tersebut?. Pihak BEM FE sendiri tidak tahu menahu mengenai hal ini. Terutama karena nyaris tidak ada koordinasi dari pihak Fakultas dan BEM sendiri mengenai hal ini. “ Kita tidak tahu tentang dasar dikeluarkannya angka itu. Yang kita tahu sekitar Bulan Desember 2007, pihak Fakultas mengajukan ke atas. Namun tidak berkoordinasi dengan BEM”, ujar Ridwan Farid, Presiden BEM FE.

“Kita menggunakan performance budget. Tidak ada hubungannya dengan realisasi anggaran tahun sebelumnya. Bagaimana bisa kita (Fakultas.red)menggunakan realisasi anggaran tahun sebelumnya, sedangkan pada Bulan Maret saja rencana anggaran tahun berikutnya harus sudah dipersiapkan”, lanjut Pak Jaryono lagi. Lantas, apakah melalui performance budget cukup untuk memprediksi kebutuhan mahasiswa setahun ke depan?. Apalagi tanpa adanya koordinasi yang baik dengan pihak mahasiswa, dalam hal ini BEM. “ Fakultas sudah berusaha untuk berkoordinasi dengan BEM. Misalnya dengan meminta rencana anggaran setahun. Dari rencana anggaran tersebut nanti diminta untuk menyesuaikan dengan dana yang ada”, ujar beliau. Nah lho, siapa menyesuaikan siapa kalau begini?, Apa fungsinya membuat anggaran setahun jika pada akhirnya harus tetap menyesuaikan dengan dana yang tersedia?. Bukankah rencana anggaran dibuat sebagai dasar perkiraan berapa kira-kira dana yang harus keluar?.

Lalu bagaimana juga dengan pengurangan anggaran dari 95 juta menjadi 80 juta?. Dari pihak BEM mengatakan bahwa pengalihan kepengurusan yang lebih lama satu bulan, membuat anggaran pada akhir tahun 2007 dialokasikan ke 2008. “ Sebelumnya anggaran pada bulan Desember bisa diakses pada bulan Desember juga, namun tahun ini ternyata anggaran Desember masuk ke anggaran tahun berikutnya”.
Lain lagi dengan pihak Fakultas yang mengatakan bahwa tidak ada mekanisme seperti itu. “ Wah, tidak bisa seperti itu. Tidak ada pengalokasian pengaksesan dana ke tahun berikutnya. Kegiatan 2007 ya tetap mengunakan anggaran 2007. Kecuali jika ada pemaksaan penambahan kegiatan dari mahasiwa sehingga melebihi anggaran, seperti manipulasi-manipulasi begitu”, ujar PD II tanpa merinci lebih lanjut manipulasi-manipulasi seperti apa yang dimaksud atau dampak dari pemaksaan kegiatan tersebut terhadap anggaran tahun berikutnya.

Tampaknya dari pihak Fakultas maupun BEM belum seiya sekata dalam menanggapi isu ini. Bisa jadi kurangnya koordinasi dari kedua pihak merupakan penyebabnya. Dalam pengajuan dana kemahasiswaan ke pihak universitas, Fakultas kurang memberdayakan fungsi BEM, untuk membantu memprediksikan kebutuhan dana setahun ke depan. Sedangkan BEM, sebagai perwakilan dari UKM/HIMA yang ada kurang cepat tanggap terhadap gerak Fakultas yang menyangkut hajat hidup UKM/HIMA yang diwakilinya. Meskipun belum seiya sekata di hampir semua hal, namun baik BEM maupun Fakultas sama-sama berjanji akan memperjuangkan kenaikan dana kemahasiswaan pada Revisi Anggaran di pertengahan tahun. Semoga momentum tersebut dapat menjadi langkah awal terciptanya sinergitas yang baik antara Fakultas dan BEM. Semoga. (novi)

Dibalik Vakumnya Kegiatan Kemahasiswaan Bisnis Internasional

Nasib kegiatan kemahasiswaan mahasiswa program studi D3 Bisnis Internasional (BI) menjadi semakin tak menentu. Setelah resmi bergabung bersama Fakultas Ekonomi tahun lalu, praktis hampir tidak ada lagi kegiatan kemahasiswaan yang diadakan oleh beberapa UKM. Ada dua alasan yang melatarbelakangi vakumnya kegiatan mahasiswa BI, yang pertama adalah kejelasan status beberapa UKM yang ada di BI dan yang kedua adalah masalah pengaksesan dana untuk kegiatan kemahasiswaan.

Ketua Program Studi D3 Bisnis Internasional, Drs.Ahmad Sujadi, Msc, phD, yang menjadi pihak paling terlibat dalam hal kegiatan kemahasiswaan sebelumnya, mengaku tidak paham mengenai perubahan status UKM dan pengaksesan dana kemahasiswaan. Setelah menerima SK pengangkatan pada bulan September 2007 yang lalu, beliau tidak lagi menangani mekanisme pengajuan dana untuk kegiatan mahasiswa. “ Mekanisme pengajuan dana yang ada sebelumnya dari mahasiswa mengajukan ke Ka.Prodi dalam bentuk proposal, dari Ka.Prodi ke pusat dan dana langsung dicairkan. Tapi itu dulu, karena kita masih mengelola dana sendiri. Kalau sekarang, sepengetahuan saya mekanismenya berbeda, jadi dari mahasiswa ke Ka.Prodi lalu Ka.Prodi mengajukan proposal ke Fakultas.” Namun sayangnya, ketika pihak Program Studi meneruskan rencana kegiatan mahasiswa ke pihak Fakultas, hal tersebut ditolak oleh pihak Fakultas.

Alasan penolakan proposal tersebut dijelaskan oleh PD III Fakultas Ekonomi, Drs. Hary Pudjianto, MM, ”UKM yang ada di BI tidak memiliki SK, saya merasa tidak pernah mengeluarkan SK. Lalu, bagaimana bisa saya meng-acc kegiatannya?”, tandas PD III . Mengenai kejelasan status UKM yang ada di BI, PD III menegaskan bahwa dengan bergabungnya BI dengan Fakultas Ekonomi, maka secara otomatis UKM yang ada di BI-pun melebur dengan UKM yang ada di FE. “ UKM yang ada di BI automatically melebur dengan FE sejak BI bergabung bersama FE. Tidak ada penggabungan, namun memang sudah jelas harus melebur bersama, karena kita sama-sama di bawah FE”, tandas beliau. Masih lanjut PD III, semua kegiatan mahasiswa BI yang bersifat ilmiah akan masuk ke HMPS, sedangkan UKM-UKM yang ada di BI, seperti BIMA(pecinta alam) dan UKM Olahraga akan melebur dengan UKM Jagrawecya dan UKM Olahraga yang ada di FE. Lain lagi dengan IBC (International Business Community) yang selama ini menaungi semua UKM yang ada di BI. Menurut PD III, IBC bukanlah sebuah badan seperti BEM,melainkan hanya menjadi fasilitator antara mahasiswa dengan birokrat.

Makin ruwet saja ketika masalah pengaksesan dana untuk kegiatan kemahasiswaan dikaitkan dengan status UKM. Jika menurut PD III status UKM yang ada di BI sekarang melebur dengan UKM yang ada di FE, maka tentu tidak perlu lagi ada mekanisme yang melibatkan Ketua Program Studi dalam pengaksesan dana. Lebih lanjut PD III menegaskan jika tidak boleh ada suatu aktivitas yang berdiri sendiri dari UKM yang ada di BI, karena secara status mereka telah melebur dengan UKM di FE. Jadi, untuk ke depannya, PD III mengharapkan UKM yang ada di BI mengikuti kegiatan yang telah diagendakan UKM/Hima yang ada di FE. Tapi permasalahannya adalah bagaimana dengan nasib program kerja yang telah dibuat oleh UKM/Hima di BI selama setahun?, apakah UKM/Hima yang ada di FE telah dapat mengakomodir kebutuhan baik dalam hal dana maupun kegiatan dari teman-teman BI?.

Panji Asmara, Ketua HMPS, terkejut ketika dikonfirmasi mengenai peleburan status tersebut, karena hal ini juga tentu turut berkaitan dengan kegiatan yang diagendakan dan dana yang dianggarkan. Tidak pernah ada sosialisasi maupun konfirmasi mengenai BI sebelumnya. Juga mengaku tidak ada informasi dan koordinasi, baik mengenai dana kemahasiswaan maupun status UKM yang ada di BI, Dyah Novita Hedyani, presiden IBC , menegaskan bahwa beberapa kegiatan yang sebelumnya telah diagendakan oleh UKM yang ada di BI terpaksa ditunda atau bahkan ter-cancel. Informasi mengenai status UKM dan dana kemahasiswaan baru didapat oleh Diah dkk setelah menyambangi PD III beberapa waktu yang lalu. Hal ini jelas mengejutkan bagi penggiat UKM di BI karena tidak pernah ada sosialisasi mengenai hal tersebut sebelumnya.

Empat bulan sudah kegiatan mahasiswa BI vakum. Pihak-pihak yang diharapkan dapat membantu memperjelas duduk permasalahan, tetap tidak bergeming. Keputusan secara sepihak telah dibuat, program kerja telah berjalan, dana telah dianggarkan, dan nasib kegiatan mahasiswa BI tetap tidak terjelaskan. (nov)

Sometimes we walk..sometimes we runaway..from life..But whatever happens do, we still holdin on something..Reality bites hard, but it would never break us..